Permintaan Tambahan Rp50 Triliun untuk BGN
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana (1/7) mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp50 Triliun untuk program Makan Bergizi Gratis Tahun 2025. Padahal sebelumnya, anggaran awal program ini sudah mencapai Rp71 Triliun. Permintaan tambahan ini dilandasi atas perintah Presiden Prabowo dengan alasan untuk mempercepat pemerataan program makan bergizi gratis. Selain itu, bahwa dengan anggaran awal Rp71 Triliun saja tidak cukup untuk mengejar target 82,9 juta penerima hingga akhir tahun 2025 yang meliputi 15,5 juta anak sekolah dan 2,4 juta ibu hamil.
Efektivitas Program Dipertanyakan
Permintaan tambahan anggaran ini muncul ketika efektivitas program masih jauh dari kata optimal. Dikutip dari suara.com Kepala BGN, Dadan Handayani (6/5) mengatakan anggaran awal sejumlah Rp71 Triliun baru digunakan sebanyak Rp2,386 Triliun atau 3,36%. Pernyataan tersebut menunjukkan belum banyak yang benar-benar berjalan dijalankan di lapangan, tapi sudah minta tambahan lagi. Selain itu. alih-alih meninjau kembali efektivitasnya, pemerintah justru mempercepat program ini atas kemauan Prabowo tanpa evaluasi yang mendalam. Hal ini jelas memicu kritik, ditambah lagi dengan adanya pernyataan Presiden Prabowo (10/2) yang menyebut program ini telah berhasil 99,99%, dengan dalih bahwa dari 3 juta penerima “yang sakit cuma 200 orang”. Hal ini tentu menjadi kontroversial karena menormalisasi kasus keracunan massal yang terjadi di sejumlah daerah.
Kondisi Fiskal Negara Menurun, Justru minta tambahan anggaran untuk program MBG: Belanja Konsumtif atau Investasi Jangka Panjang?
Dikutip dari Kompas.com Anggaran MBG sebesar Rp217,86 Triliun menjadi yang tertinggi dibanding anggaran kementerian dan lembaga lainnya, sehingga banyak terjadi pemotongan anggaran sebesar Rp 306,69 Triliun. Ironisnya lagi, permintaan tambahan Rp50 Triliun ini datang disaat kondisi fiskal negara mengalami defisit. Per Mei 2025, pendapatan negara baru mencapai Rp995,3 Triliun (33,1% dari target APBN) dan menunjukkan penurunan 11,4 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Permintaan tambahan tersebut memicu reaksi dari para ekonom. Para ekonom menilai bahwa MBG merupakan bentuk belanja konsumtif jangka pendek yang efeknya tidak sebanding dengan biaya besar yang ditanggung negara. Padahal banyak program lain yang lebih mendesak dan terbukti manfaatnya. Jika memang MBG merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguatan gizi anak sekolah, maka ada hal yang masih lebih penting untuk diperhatikan. Contohnya lakukan saja pemerataan pengadaan infrastruktur yang memadai di sekolah sekolah, khususnya di pelosok. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nailul Huda, Direktur Ekonomi Center of Economics and Law Studies yang mempertanyakan efektivitas program ini yang tidak merata menyasar semua anak. Ia menyatakan bahwa seharusnya dana untuk pendidikan bisa diperbanyak ke arah pendidikan gratis untuk semua anak, bukan makan gratis yang hanya menyasar anak sekolah saja. Ia menambahkan bahwa permintaan tambahan anggaran belanja hanya untuk program MBG akan mengorbankan kebutuhan dasar lainnya. Seharusnya kebutuhan dasar seperti sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lebih diprioritaskan untuk keberlanjutan investasi jangka panjang.
“Program MBG sudah baik, tapi anggarannya jangan sampai kemudian memakan anggaran-anggaran vital yang lain” ungkap Riefky, Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi (LPEM FEB UI) (26/5)
Dikutip dari BBC News, Menurut Achmad dari UPN Veteran, mengatakan Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program populis yang perlu dikaji ulang, terutama dari sisi keberlanjutan fiskal. Ia juga menekankan bahwa pemerintah seharusnya memprioritaskan anggaran belanja negara pada program yang berdampak langsung pada rakyat dan pemulihan ekonomi. Belanja yang tidak mendukung pertumbuhan atau hanya bersifat jangka pendek atau berorientasi politik harus dikaji ulang.
Di saat yang sama, belanja konsumsi seperti MBG terus diperbesar, dengan tambahan Rp 50 triliun meski efektivitas dan implementasi program ini penuh masalah, seperti realisasi yang lambat, banyak kasus keracunan di berbagai daerah penerima MBG memunculkan pertanyaan. Apakah ini keputusan yang tepat untuk menambah Rp 50 triliun untuk program ini di tengah krisis fiskal dan belum ada bukti nyata efektivitasnya. Peningkatan SDM yang berkualitas melalui penguatan gizi memang perlu, tapi juga masih banyak kebutuhan vital lain yang lebih penting untuk dipenuhi agar peningkatan SDM dapat terlihat manfaatnya seperti meningkatkan akses dan mutu pendidikan yang lebih layak.
Narasi : Arum Novita Sari dan Fayyaza Aquila R
Editor : Yohana
Ilustrasi :