Perbedaan kebijakan antar prodi di Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Islam Indonesia (UII) terkait sistem perbaikan nilai menciptakan dinamika yang memicu perdebatan, khususnya di lingkungan akademik. Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII program S1 tetap mempertahankan semester antara, sementara pada program D4 di fakultas yang sama telah mengadopsi sistem remedial. Perbedaan ini ternyata didasari oleh berbagai pertimbangan seperti efisiensi, efektivitas hingga kesiapan dari sumber daya khususnya dosen.
Sistem perbaikan nilai seharusnya tidak hanya menjadi formalitas administratif, tetapi juga menjadi sarana pembelajaran ulang yang efektif dan relevan dengan kebutuhan mahasiswa. Perbedaan sistem tersebut memunculkan berbagai pandangan dari kalangan dosen sebagai pemangku kebijakan dan mahasiswa sebagai pihak yang merasakan langsung dampak kebijakan tersebut.
Mengapa Semester Antara Dipertahankan?
Dalam wawancara eksklusif dengan Edi Haryono yang merupakan Kepala Divisi Administrasi Akademik FBE UII, dijelaskan bahwa keputusan untuk menyelenggarakan semester antara merupakan wewenang pimpinan fakultas masing-masing. “Ketika semester antara akan dilaksanakan maka senat fakultas akan membentuk tim ad hoc yang berganti setiap pelaksanaannya dan bisa saja berbeda setiap tahunnya.’’ jelas Edi. Beliau juga menegaskan bahwa remedial tetap memungkinkan untuk diterapkan di program S1, tetapi FBE memilih untuk tetap pada semester antara karena dinilai lebih efisien dan juga efektif.
Selaras dengan pernyataan tersebut, Johan Arifin selaku Dekan FBE UII memaparkan bahwa memang semester antara telah menjadi tradisi lama di FBE UII. “Dulu dikenal dengan nama semester pendek, sekarang menjadi semester antara.”
Selain sebagai tradisi yang dipertahankan, Johan Arifin tetap menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk beralih ke sistem remedial bagi program S1 FBE UII. Hal ini karena sistem perbaikan nilai yang dilaksanakan melalui semester antara merupakan pendekatan yang dinilai lebih praktis serta responsif terhadap kebutuhan mahasiswa. “Kegiatan ini memanfaatkan jeda waktu antar semester untuk pembelajaran ulang selama dua minggu setengah secara rutin, sehingga mahasiswa punya waktu untuk memahami materi sebelum diuji kembali.” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa memang tingkat keberhasilan semester antara cukup tinggi, dengan 80% mahasiswa telah menunjukkan peningkatan nilai. “Meski tidak semua hasilnya meningkat, mayoritas mahasiswa yang serius, cenderung mendapatkan nilai lebih baik jika dibandingkan sebelumnya,’’ungkapnya. Menurutnya, keberhasilan ini juga didukung oleh keterlibatan dosen yang memberikan pengayaan dan tugas yang relevan secara rutin selama semester antara berlangsung.
Semester antara yang dinilai efisien oleh fakultas mendapat tanggapan positif dari Malik (nama samaran) mahasiswa yang pernah mengikuti semester antara dan Ani (nama samaran) mahasiswa yang pertama kali ikut kegiatan ini. Mereka menilai semester antara merupakan peluang yang positif karena bisa menjadi kesibukan tambahan bagi mahasiswa yang tidak pulang kampung. “Semester antara sebenarnya dapat menjadi pelajaran untuk membangun kesadaran akan kewajiban akademik, khususnya bagi saya dan yang lainnya. Jika tidak ingin mengikuti semester antara dengan mengorbankan waktu liburan dengan biaya yang lumayan banyak, saat perkuliahan reguler harus belajar dengan lebih serius dan giat,” ungkap kedua mahasiswa dalam wawancara.
Pelaksanaan Tanpa Jeda: “Selesai UAS Langsung Kembali Kuliah, Mahasiswa Berpotensi Cepat Jenuh. Otak Juga Perlu Recharge!”
Namun, tidak sedikit juga mahasiswa yang justru merasa semester antara memiliki banyak tantangan tersendiri. Kritik utama mahasiswa terhadap semester antara adalah pelaksanaannya yang dilakukan segera setelah UAS berakhir. Kurangnya waktu istirahat dapat memicu kejenuhan karena ritme akademik yang terlalu padat. “Selesai ujian, langsung kuliah lagi, padahal kita perlu jeda untuk recharge otak,” keluh Ani. Seharusnya disediakan waktu jeda yang cukup setelah UAS untuk menyiapkan mental dan recharge otak menjalani perkuliahan ulang.
Kekhawatiran lainnya muncul ketika harus diajar dosen yang sama tanpa sepengetahuan mahasiswa sebelumnya, karena dosen pengajar matkul tidak tertera langsung (default dosen) di sistem key-in. Hal ini bisa memicu masalah pemahaman materi yang tidak terselesaikan. “Saya merasa dirugikan karena info dosen semester antara ditentukan sepihak, seharusnya di sistem key-in dosen tertera. Idealnya, dosen yang mengajar di semester antara merupakan dosen yang expert dan paham cara mengajar yang efektif mengingat waktu perkuliahan semester antara sangat singkat, supaya materi yang disampaikan dan dipadatkan hanya dalam dua minggu setengah dapat benar-benar dipahami,” jelas Nia (nama samaran).
Keluhan lainnya disampaikan karena panitia penyelenggara semester antara kurang transparan dalam memberi info tentang penyelenggaraan jadwal kuliah yang ternyata tetap berlangsung juga saat weekend. “Sebaiknya jadwal perkuliahan tidak dilaksanakan saat weekend, karena kebutuhan akan waktu istirahat.” ungkap Nia.
Regulasi Nasional: Payung Hukum Semester Antara
Dibalik pro dan kontra pandangan mahasiswa terhadap pelaksanaan semester antara, ada landasan hukum dibalik semuanya. Penyelenggaraan semester antara diatur dalam Pasal 16 Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, yang menyatakan bahwa:
- Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan semester antara;
- Semester antara diselenggarakan paling sedikit selama 8 minggu;
- Beban belajar mahasiswa maksimal 9 SKS;
- Jika berbentuk perkuliahan, wajib ada tatap muka minimal 16 kali termasuk ujian tengah semester dan ujian akhir semester.
Selanjutnya, menjawab keresahan banyak mahasiswa mengenai pelaksanaan semester antara yang hanya tersedia saat semester genap juga diatur dengan sebaik mungkin oleh FBE UII, tidak dengan maksud membatasi peluang bagi mahasiswa. Penyelenggaraan ini sudah sejalan dengan Pasal 15 ayat (3) Permendikbud No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi menyatakan selain 2 (dua) semester sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam 1 tahun akademik, perguruan tinggi dapat menyelenggarakan 1 (satu) semester antara sesuai dengan kebutuhan.
Semester Antara di FBE UII bersifat opsional dan dikenakan biaya tambahan yang jauh lebih mahal daripada remedial karena masa perkuliahan yang berjalan seperti biasa. “Hanya saja, mahasiswa tidak diperbolehkan mengambil mata kuliah baru di semester antara, karena tujuan utamanya semata untuk perbaikan nilai,” jelas Pak Johan.
Dengan dua pendekatan yang berbeda, FBE UII menunjukkan fleksibilitas dalam mendukung keberhasilan studi mahasiswa dengan tetap mematuhi aturan pendidikan yang tertuang dalam perundang-undangan.
Tradisi atau Efisiensi?
Pada akhirnya, baik semester antara di S1 maupun remedial di D4 punya kelebihan dan tantangan masing-masing. FBE UII memang fleksibel dalam memilih pendekatan, namun evaluasi tetap dibutuhkan.
Pertanyaan pentingnya: apakah semester antara dipertahankan karena memang efektif, atau sekadar karena sudah menjadi tradisi?
Ke depan, harapannya kebijakan ini tidak hanya untuk perbaikan nilai dan tidak hanya dipertahankan karena tradisi, tapi juga benar-benar memfasilitasi kebutuhan mahasiswa dengan tidak mengorbankan efektivitas dan efisiensi.
Narasi: Nisa Rahmasari, Sadrina Kaelani, Fayyaza Aquila R
Editor: Yohana
Ilustrator: Rofi Edgar Jeconea