Langkah yang tidak lazim ditempuh Presiden Prabowo tepat pada satu tahun pemerintahannya. Dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara pada Senin (20/10/2025), Presiden secara langsung menginterupsi Menteri Keuangan, Purbaya, untuk mengalihkan dana sitaan korupsi CPO senilai Rp13,2 triliun di luar mekanisme APBN reguler.
Sesuai arahan Presiden, dana pengembalian kerugian negara dari Kejaksaan Agung tersebut akan dialokasikan sepenuhnya untuk tiga tujuan: menambah anggaran Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), membangun 8.000 sekolah, dan menginisiasi program peningkatan kesejahteraan bagi 5 juta nelayan.
Mengutip Tempo.co (20/10), Presiden Prabowo menegaskan komitmennya, “Dana yang berasal dari koruptor sebagian besar kita investasi ke LPDP.”
Penambahan dana LPDP ini selaras dengan visi pemerintah untuk mempercepat peningkatan kualitas pendidikan nasional. Presiden mengacu pada statistik mengenai distribusi kecerdasan populasi, di mana sekitar 1 persen penduduk diperkirakan memiliki IQ di atas 120. Dengan populasi Indonesia sekitar 287 juta jiwa, setidaknya 2,8 juta penduduk berpotensi berada di kategori tersebut dan membutuhkan dukungan pendidikan yang memadai.
Sementara itu, pembangunan 8.000 sekolah menjadi respons terhadap kritik publik mengenai lambatnya perbaikan infrastruktur pendidikan dasar. Adapun alokasi dana bagi 5 juta nelayan dipandang sebagai pemenuhan janji sektor maritim serta sinyal awal pencapaian di tahun pertama pemerintahan.
Namun, pemanfaatan sumber dana non-reguler ini memunculkan sejumlah pertanyaan penting: Apakah langkah realokasi ini efektif? Dan apakah intervensi langsung Presiden berpotensi melemahkan prinsip akuntabilitas dan tata kelola keuangan negara yang semestinya melalui mekanisme APBN?
Tantangan utama kebijakan ini bukan pada ketersediaan dana Rp13,2 triliun, melainkan pada kesiapan eksekusi tiga program besar LPDP, sekolah, dan nelayan yang akan dijalankan secara bersamaan. Melalui pengalihan di luar siklus APBN, terdapat risiko teknis yang signifikan. Misalnya, apakah perencanaan detail pembangunan 8.000 sekolah, termasuk ketersediaan lahan dan tenaga pengajar, telah disiapkan? Apakah alokasi ini tidak tumpang tindih dengan program reguler kementerian terkait? Tanpa mekanisme perencanaan dan pengawasan yang ketat, risiko moral hazard dapat meningkat, terlebih di tengah maraknya kasus korupsi.
Kebijakan ini juga menyingkap persoalan yang lebih mendalam: mengapa infrastruktur dasar seperti sekolah harus didanai melalui realokasi dana sitaan? Kondisi ini bisa menunjukkan adanya stagnasi dalam proses anggaran reguler. Meski signifikan, kebijakan satu kali seperti ini rentan menjadi langkah jangka pendek apabila tidak diintegrasikan dengan reformasi birokrasi pendidikan yang komprehensif.
Dari sudut pandang keadilan sosial, pemanfaatan dana sitaan korupsi untuk kepentingan publik mendapat respons positif dari masyarakat. Tantangan selanjutnya adalah memastikan alokasinya benar-benar menyentuh akar permasalahan. Pembangunan 8.000 sekolah harus diprioritaskan bagi wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar, bukan terkonsentrasi di daerah yang mudah dijangkau. Begitu pula program untuk 5 juta nelayan harus melampaui bantuan sementara dan diarahkan pada perbaikan tata kelola sektor maritim secara berkelanjutan.
Pada akhirnya, intervensi realokasi dana ini menjadi ujian besar bagi satu tahun pemerintahan Prabowo. Bila berhasil, langkah tersebut dapat menjadi standar baru yang membuktikan bahwa terobosan di luar jalur APBN reguler mampu mempercepat pembangunan. Namun, bila gagal akibat lemahnya perencanaan, salah sasaran, atau ketidaktuntasan eksekusi, maka kebijakan ini justru berpotensi menurunkan integritas tata kelola keuangan negara di mana niat baik untuk mengejar ketertinggalan berakhir menggerus prinsip akuntabilitas.
Narasi : Faiz Febrianto
Editor : Yohana
Ilustrasi : Dwi Kurniawan Syach


