27 C
Yogyakarta
Thursday, October 2, 2025
HomeBeritaNasionalJatuhi Vonis 4,5 Tahun terhadap Kasus Impor Gula oleh Tom Lembong: Tanda...

Jatuhi Vonis 4,5 Tahun terhadap Kasus Impor Gula oleh Tom Lembong: Tanda Birokrasi Pemerintah Hancur?

Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan hukuman 4 tahun 5 bulan penjara kepada Tom Lembong atas dugaan korupsi kebijakan impor gula kristal mentah (raw sugar) yang diterbitkan oleh Tom Lembong saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan RI pada tahun 2015–2016. Namun, di sinilah letak jantung permasalahannya. Pasalnya pengadilan sendiri mengakui bahwa Tom Lembong tidak memiliki mens rea (niat jahat) dan tidak ada keuntungan pribadi — layakkah seorang pejabat publik dipidana atas dasar kerugian yang dihitung secara retrospektif (kilas balik)? Bukankah risiko kebijakan memang tidak selalu berujung pada hasil ideal? Bila pelanggaran administratif disamakan dengan korupsi, maka batas antara kebodohan prosedural dan kejahatan serius menjadi rancu. Maka dengan ini esensi dari kejahatan korupsi yakni keserakahan untuk memperkaya diri atau orang lain secara ilegal menjadi ambigu. Walaupun tindakan yang telah dilakukan Tom Lembong jelas-jelas salah secara prosedural, lebih menyerupai kelalaian administratif atau penyalahgunaan wewenang dalam ranah hukum administrasi negara, bukan sebuah kejahatan yang didasari niat buruk.

Kasus tindak pidana korupsi oleh Tom Lembong secara transparan membuat rusak batas krusial antara kesalahan administratif dan kejahatan. Kasus ini mencerminkan tindakan yang salah secara prosedur dan menimbulkan kerugian bagi negara yang telah diperlakukan setara dengan kejahatan, sekalipun tidak terbukti adanya niat buruk di baliknya. Hal ini menciptakan sebuah standar yang berisiko, atau yang sering disebut “kriminalisasi kebijakan”. Artinya, seorang pejabat publik dapat dipenjara bukan karena ia terbukti memiliki itikad buruk, tetapi semata-mata karena kebijakan yang diambilnya di kemudian hari dinilai membawa dampak negatif.

Fokus penuntutan tindak pidana korupsi yang hanya menargetkan Tom Lembong terasa timpang. Pasalnya kebijakan tersebut bukan semerta-merta datang dari ruang yang hampa, ia termasuk bagian dari arahan dan persetujuan hierarki pemerintah yang dipegang tinggi oleh presiden. Anehnya, presiden yang menjabat kala itu sama sekali tidak dimintai pertanggungjawaban, bahkan sekadar untuk memberikan kesaksian. Hal ini menciptakan persepsi adanya tebang pilih dalam penegakan hukum, terlebih ketika adanya dugaan bahwa menteri lain di posisi yang sama pernah menerapkan kebijakan serupa dengan skala volume yang lebih masif.

Dengan kesan aparat saat memperlakukan Tom Lembong mengarah pada dugaan adanya tindakan diskriminatif. Hal tersebut semakin diperkuat dengan adanya penggunaan borgol saat ditampilkan di hadapan publik, pembatasan akses komunikasi dengan para media, serta perlakuan lain yang seolah-olah memberikan tekanan simbolik. Di sisi lain, perlakuan ini terasa mencolok jika dibandingkan dengan penanganan kasus yang melibatkan pejabat atau mantan pejabat lain pada umumnya, yang bahkan seringkali justru mendapat perlakuan yang istimewa. Dengan begitu hal tersebut dapat mengafirmasi adanya perbedaan perlakuan standar ganda yang jelas dalam penegakkan hukum.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak jangka panjang dari putusan ini. Jika setiap menteri atau pejabat yang mengambil keputusan dengan niat baik namun kurang sempurna dalam prosedur bisa dipidana, maka akan lahir kultur birokrasi yang gamang dan takut bertindak. Kita akan menyaksikan lebih banyak pejabat yang pasif, tidak berani mengambil kebijakan progresif, karena ketakutan dibui. Akhirnya, pembangunan akan terhambat oleh kehati-hatian berlebihan yang bukan didorong oleh akuntabilitas, tapi oleh rasa takut dikriminalisasi.

Hukum seharusnya melindungi niat baik dan mengarahkan perbaikan sistem, bukan menghukum pejabat yang mencoba bertindak di tengah situasi krisis. Kita perlu menegaskan kembali bahwa kebijakan yang keliru secara administratif tidak selalu identik dengan korupsi. Jika niat baik pun tidak cukup untuk membela seorang pejabat dari vonis, maka kita tengah menyaksikan tragedi dalam wajah hukum itu sendiri dan ini jauh lebih berbahaya daripada sekadar fluktuasi harga gula.

Narasi: Shinta Indira Az-zahra
Editor: Yohana
Ilustrator:

TERKAIT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
LPM Ekonomika FBE UII

Terpopuler