Hakikat Kemerdekaan
Foto: Firoos Fauzan Ibrahim
Oleh: Firoos Fauzan Ibrahim*
Bacaekon – Di Bulan Agustus, Bangsa Indonesia mempersiapkan perayaan besar. Kampung-kampung menyelenggarakan berbagai lomba untuk semua usia hingga barisan-barisan di komando secara tertib menjelang upacara. Beraneka figur dan karakter Sang Saka Merah Putih, burung garuda, tangan mengepal ke atas, dan warna merah darah sebagai latar belakang. Berbagai lomba dan hiburan merupakan cara bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan, dengan pesta dan cara-cara perayaan selayaknya memperingati hari kelahiran kita sendiri. Kita terbiasa dan terdidik untuk mengisi hari kelahiran dengan pesta pora dan saling memberi hadiah. Itu merupakan fenomena yang menakjubkan.
Terlepas dari perayaan agung itu, sudahkah kita bersiap meneruskan perjuangan para pahlawan dalam membangun tanah air? Saat paham ekstrem merajalela, kemerosotan moral membayangi setiap orang, kearifan lokal luntur tanpa bekas, kelesuan ekonomi masih terasa, praktik korupsi belum sepenuhnya berhenti, akhirnya bagaimana kita bertahan? Jati diri bangsa yang masih dianggap rendah masih perlu dikuatkan. Kenyataanya, jati diri itu malah semakin tenggelam dari kehidupan berbangsa di Indonesia, termasuk kehidupan para pembesarnya. Sebagaimana keprihatinan yang diungkapkan Prof. Quraish Shihab tentang pemimpin negeri ini, “Orang-orang di posisi yang dilihat orang banyak tidak memberikan teladan kebaikan, seperti berfoya-foya.”
Lika-liku sejarah panjang bangsa Indonesia telah membawa kita kepada peradaban yang kental akan berbagai unsur luar. Sejak bangsa di Nusantara ini membangun peradaban perunggu, unsur-unsur dari India dan Tiongkok sudah mulai masuk dan mengubah sedikit-banyak cara hidup di sini. Mulai dari sistem kasta yang sedikit menggeser sistem kesukuan, pemikiran, dan kebijaksanaan yang memperkaya cara pandang terhadap alam semesta dan kehidupan, hingga ajaran Weda dan Tipitaka yang mengeluarkan masyarakat kita dari kepercayaan animisme-dinamisme. Penyembahan dialihkan ke para dewa dan dewi dengan membuat pemujaan untuk arca-arca penggambaran mereka.
Hingga kini, ajaran Hindu dan Buddha masih mewarnai corak masyarakat terutama di Indonesia bagian barat dan tengah. Di Bali, agama Hindu masih dianut oleh sebagian besar penduduknya dengan penuh ketaatan. Bangunan-bangunan candi di Jawa dan Sumatera pun tetap dirawat, bahkan terus menjadi objek kajian ilmu sejarah yang berharga di mata dunia. Setelah pendatang dari Timur-tengah tiba dengan perdagangan dan ajaran Islam-nya. Sistem kasta yang sebelumnya mengakar mulai memudar. Pemikiran dan kebijaksanaan baru menambah dan menyempurnakan nilai dan corak budaya sebelumnya, dan ajaran Al-Qur’an disebarkan dan ditanamkan melalui berbagai kanal termasuk kesenian lokal: gamelan, wayang, tembang macapat, dan lain-lain.
Di zaman globalisasi ini, patut disayangkan bahwa bentuk-bentuk kesenian lokal tersebut sudah jarang ditampilkan. Namun, perkembangan unsur Islam bersama unsur Arab terus berkembang dan menancapkan akarnya semakin dalam di Nusantara. Setelah Bangsa Eropa menjalin interaksi dengan penduduk Nusantara baik kaum pedagang, jajaran bupati, sampai membuat perjanjian dengan para raja atau sultan mereka mengembangkan kekuasaannya. Paham strata sosial kembali diterapkan yang mengingatkan pada kasta di zaman Hindu-Buddha dahulu.
Di sisi lain, gagasan dan penemuan dari Benua Eropa akhirnya juga masuk ke Nusantara. Sampai agama Kristen dan Katolik yang sejak awal mereka anut juga didakwahkan ke masyarakat lokal ini. Hingga penjajahan asing di atas bumi Indonesia telah berhasil dihapuskan dan pintu kemerdekaan sudah dibuka untuk rakyat tanah air, pengaruh bangsa-bangsa luar tersebut tetap tinggal. Peninggalan mereka itu mengalami akulturasi dan asimilasi dengan corak-corak asli Nusantara. Itu menghasilkan corak gabungan bahkan unsur baru yang sebagiannya masih bertahan hingga sekarang.
Melalui pesan-pesan sarat makna, Presiden Soekarno memperingatkan generasi bangsa yang akan datang untuk teguh mempertahankan kelangsungan negara dan keutuhan yang terjalin di dalamnya. Di era globalisasi, walau hanya segelintir yang mengangkat isu globalisasi tersebut, penggunaan bahasa sebagai identitas diri juga patut untuk tetap disorot. Mereka yang kem-inggris, menjangkiti diri dengan demam korea, dan bentuk-bentuk yang pernah dilafalkan Presiden Soekarno sebagai “Mabok akan budaya luar” lainnya secara berlebihan perlu untuk segera memulihkan diri dan mengingat lagi akan kepribadian sesungguhnya. Jangan sampai tenggelamnya kita dalam arus deras unsur asing sampai menghilangkan keaslian kita selaku bangsa Indonesia.
Bangsa Eropa pantas untuk bermegahan dengan ideologi, ekspansi, dan koloninya di atas dunia. Kabilah-kabilah Timur Tengah layak untuk mempertahankan syiar-nya sebagai jalan hidupnya. Kita, suku bangsa bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, juga mesti memperjuangkan jati diri kita di tanah pijakan kita sendiri, di langit junjungan kita sendiri. Ingat wanti-wanti Presiden Soekarno, “Sodara-sodara sebangsa setanah air, kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalo jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalo jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi.” Mari kita bangkit dan kembali berdiri tegak sebagai manusia Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila menjadi ideologi, syiar, dan suluk lelaku kita. Nyalakan api perjuangan yang tidak akan padam laksana motivasi dari Presiden Abdurrahman Wahid, “kalo mengenai prinsip, mengenai alasan berdirinya negara, mengenai bentuk negara, dan sebagainya: Masio mati, tak-labuhi! (Akan ku terjang meski bertaruh nyawa!)”
Jangan sampai kita benar-benar lupa akan arti dan cita-cita mereka yang dititipkan pada generasi ini. Hasil perjuangan diplomasi para pengurus awal pemerintahan berupa pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Timur Tengah, Myanmar, Britania Raya, Amerika Serikat, dan Rusia hendaknya dihargai dan pertahankan dengan prestasi dan peran aktif putra-putri bangsa di tingkat Internasional. Tetap pelihara dan kembangkan nasionalisme dengan rasa ingin tahu lebih dalam tentang segala kearifan di lingkungan sekitar. Tetap nyalakan patriotisme dengan menyisihkan penghasilan untuk pajak, mencurahkan tenaga untuk bekerja, dan memeras otak demi membuahkan karya sebagai bukti pengabdian kepada bangsa dan negara.
Presiden Soekarno berpesan, “Pengabdian kepada kemerdekaan tidak mengenal titik akhir!”. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga berpesan, “Rasa pengabdian kepada bangsa dan negara merupakan yang terpenting. Dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, derajat bangsa ini bisa terangkat. Jangan lupa keburukan orang, ingat terus kebaikan orang.”
Sembari memeriahkan dan menikmati suasana pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, penulis mengajak kepada diri sendiri dan para pembaca atau pendengar sekalian untuk mensyukuri kemerdekaan dengan melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa untuk mencapai kemerdekaan, persatuan, kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran. Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!
Editor: Nur Alif Nafilah & Naufal Rahendra
*Penulis adalah magang LPM Ekonomika