Fenomena fast fashion semakin tak terbendung di Indonesia. Kita mengenal fast fashion sebagai model produksi pakaian instan yang mengikuti tren cepat, murah, dan berganti-ganti dalam hitungan minggu. Dibalik gemerlapnya diskon dan desain kekinian, kondisi keuangan konsumen ikut tergerus oleh konsumsi yang tidak terkendali. Banyak yang merasa “hemat” karena harga satu kemeja berada di kisaran angka Rp100,000 atau Rp200,000. Itulah letak jebakan fast fashion. Harga yang terasa ramah di kantong mendorong kita terus berbelanja, hingga tanpa sadar jutaan rupiah lenyap dalam sebulan hanya demi tren. Sementara itu, kebutuhan esensial seperti makan, transportasi, asuransi, bahkan tabungan dan dana darurat pun harus tersisihkan.
Selain berdampak secara finansial, industri ini menyumbang emisi karbon dunia. Secara global, industri ini menyumbang sekitar 10 % emisi karbon dunia dan 20 % limbah air industri. Setiap tahun, hingga 92 juta ton limbah tekstil dihasilkan, dan diperkirakan melonjak hingga 134 juta ton pada 2030 tahun mendatang. Di Indonesia, produksi tekstil mencapai 33 juta ton, dengan sekitar 1 juta ton menjadi limbah tekstil. Belum lagi dampak lingkungan lain seperti pencemaran air karena pewarna berbahaya, mikroplastik poliester yang mencemari sungai seperti Citarum, serta tekanan terhadap sumber daya air dan keanekaragaman hayati. Soal kesehatan dan sosial, tidak kalah serius. Fast fashion memanfaatkan bahan murah yang selama produksi dan pencucian melepaskan zat berbahaya dan serat mikro menyebabkan iritasi, risiko gangguan hormonal, hingga pencemaran air yang berdampak pada kesehatan masyarakat.
Jika ditanya mengapa fast fashion sangat populer, jawabannya adalah karena siklus mode sekarang lebih cepat. Tren yang biasanya memakan waktu setahun untuk muncul dan kemudian menjadi usang, kini dapat terjadi hanya dalam beberapa minggu. Inilah yang kemudian memicu tindakan impulsif ketika berbelanja, terutama saat diskon dan promo melimpah. Ditambah lagi munculnya rasa takut ketinggalan atau Fear of Missing Out (FOMO) yang membuat banyak orang membeli hanya untuk terlihat “up-to-date”.
Kapan persoalan ini menjadi sangat mendesak? Fast fashion sudah berkembang sejak era industrialisasi dan globalisasi. Tetapi, semakin maraknya tren fast fashion yang berdampak pada lonjakan limbah dan polusi membuat kita sadar akan dampak seriusnya. Di era sekarang, ketika krisis iklim dan ketidakstabilan ekonomi saling menekan, fast fashion menjadi simbol gaya hidup modern yang penuh kontradiksi. Rantai produksi penyebab pencemaran tekstil fast fashion ini dikendalikan oleh merek-merek global seperti Zara, H&M, Shein, Forever 21, Uniqlo, Mango, dan ASOS. Skala produksinya yang sangat besar memang memberikan margin yang tinggi. Sementara, yang merasakan dampaknya secara finansial, sosial, maupun kesehatan adalah konsumen muda yang mengikuti tren, serta pekerja garmen di negara berkembang. Dampaknya dapat kita lihat dari tingkat global hingga lokal. Secara global, fast fashion menyumbang polusi air hingga emisi karbon. Di Indonesia, sungai seperti Citarum yang penuh mikroplastik dari poliester menjadi contoh nyata limbah tekstil mengancam ekosistem lokal dan kesehatan masyarakat. Banyaknya dampak yang menyebar ke masalah lingkungan, eksploitasi pekerja, dan ancaman kesehatan menunjukan bahwa fast fashion jauh lebih luas daripada sekadar masalah keuangan. Jika kita tidak segera beralih, dampaknya akan terus merusak ekosistem dan membebani generasi mendatang.
Upaya untuk mengatasi persoalan ini dapat dimulai dari langkah sederhana. Sebelum membeli, tanyakan kepada diri sendiri “apakah barang ini benar-benar dibutuhkan?” Tertarik mengikuti tren adalah hal yang wajar, tapi alangkah baiknya jika kita membatasi pengeluaran dengan menganggarkan belanja pakaian sehingga tabungan, investasi, dan dana darurat tetap terjaga. Langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan memilih pakaian yang berkualitas, tahan lama dan dapat didaur ulang. Komunitas seperti Slow Fashion Indonesia dan prakarsa lokal sudah mulai mempromosikan daur ulang tekstil, penenunan tradisional, serta solusi kreatif seperti Fashion Bank atau pengolahan limbah jadi produk berguna. Mulai sekarang, mari kita pilih baju yang nyaman untuk dipakai sehari-hari. Sesuaikan pilihan kita dengan aktivitas dan karakter pribadi. Jangan ragu untuk mengatakan ‘tidak’ pada tren yang tidak cocok dengan diri kita, karena yang terpenting adalah merasa percaya diri dan nyaman dengan apa yang kita kenakan.
Narasi: Anatasya Dyah Ayu Aprilia
Editor: Fayyaza Aquila Regina
Ilustrator: