26.5 C
Yogyakarta
Thursday, October 2, 2025
HomePustakaRuang KaryaKeadilan yang Viral: Ketika Hukum Tunduk pada Trending Topic

Keadilan yang Viral: Ketika Hukum Tunduk pada Trending Topic

Media sosial hari ini tidak hanya menjadi ruang berbagi informasi, tetapi juga ruang yang mampu membentuk opini publik secara masif. Tidak jarang, sebuah kasus hukum baru memperoleh atensi serius setelah viral. Hal ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana viralitas mempengaruhi arah penegakan hukum di Indonesia. Selama dalam delapan dekade kemerdekaannya, Indonesia telah melalui banyak fase perjuangan politik, ekonomi dan sosial. Namun keadilan hukum sebagai salah satu pilar utama kemerdekaan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Secara ideal, hukum berfungsi sebagai instrumen keadilan yang netral, yang melindungi hak semua warga negara secara setara tanpa membedakan jabatan, kekayaan, atau popularitas. Prinsip ini dikenal sebagai equality before law, yang menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dihadapan hukum tanpa diskriminasi apapun (Makna Equality Before the Law Dan Penerapannya Dalam Sistem Hukum -JDIH – Kota Semarang – Jaringan Dokumentasi Dan Informasi Hukum Kota Semarang, n.d.). Namun prinsip tersebut belum sepenuhnya terwujud. Suara merdeka yang seharusnya jernih semakin sulit terdengar di tengah kebisingan polarisasi politik dan derasnya arus informasi digital.

Opini publik dan trending topic di media sosial sering lebih berpengaruh dibandingkan logika hukum, sehingga menimbulkan tantangan serius bagi tegaknya keadilan. Salah satu tantangan paling mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia adalah praktik korupsi yang merajalela. Korupsi telah meresap ke berbagai tingkatan birokrasi dan institusi hukum, menciptakan ruang di mana proses hukum dapat dimanipulasi demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan keadilan justru kerap terlibat dalam praktik korupsi yang melemahkan kepercayaan publik dan penghambat penegakan hukum secara adil dan objektif (HR, 2021).

Di sisi lain intervensi politik sering kali memperburuk keadaan, ketika keputusan hukum dipengaruhi oleh pertimbangan kekuasaan sehingga kasus-kasus besar dapat dihentikan atau diarahkan sesuai kepentingan elit. Kondisi ini bukan hanya menimbulkan perlakuan hukum yang tidak setara, melainkan juga merusak independensi lembaga hukum secara struktural (HR, 2021). Ironi ini menjadi semakin pahit bagi Bangsa Indonesia yang telah 80 tahun merdeka, namun hukum masih bisa dibeli dan diarahkan. Padahal, hukum seharusnya menjadi perwujudan idealisme bangsa merdeka: tegak tanpa intervensi dan bersih dari praktik transaksional.

Fenomena tersebut nyata pada kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Hakim Agung Sudrajad Dimyati beserta sembilan tersangka lain pada September 2022. Alih-alih menjaga martabat peradilan, justru Mahkamah Agung tercoreng oleh dugaan mafia hukum di level tertinggi yudikatif (KPK Menangkap Oknum Hakim Agung Yang Diduga Terlibat Korupsi, n.d.). Kasus ini menjadi paradoks yang mengkhawatirkan: lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan berubah menjadi arena transaksional. Korupsi dan intervensi politik semacam ini jelas mengikis prinsip equality before the law sekaligus memperkuat persepsi publik bahwa di Indonesia masih “tajam ke bawah, tumpul ke atas.”

Jika korupsi dan intervensi politik mencerminkan lemahnya independensi lembaga hukum dari dalam, maka tantangan lain datang dari luar: derasnya tekanan opini publik di era digital. Fenomena yang populer dikenal dengan istilah “No Viral No Justice” mencerminkan ketidakadilan struktural, di mana perkara yang viral di media sosial lebih cepat ditangani secara terbuka, sementara perkara serupa yang tidak mendapat sorotan publik sering berjalan lambat, atau bahkan diabaikan (Peran Media Sosial Dalam Penegakan Hukum Dan Persepsi Publik – TIMES Indonesia, n.d.). Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana kebisingan informal membentuk ruang hukum yang timpang: keadilan hanya adil bagi yang viral.

Untuk memastikan penegakan hukum tidak tergantung pada tekanan publik atau opini media sosial, diperlukan reformasi struktural yang memperkuat integritas lembaga hukum. Beberapa langkah konkret antara lain: (1) meninjau mekanisme pengangkatan pejabat hukum agar bebas intervensi politik (HR, 2021), (2) meningkatkan pengawasan melalui audit independen serta transparansi keputusan (Simanjuntak & Sibarani, 2025). dan (3) memperkuat prinsip checks and balances agar tidak ada lembaga yang dominan dalam proses hukum (Herviana et al., 2024).

Media sosial memang berperan sebagai “mata publik” yang mampu mengungkap kasus kekerasan aparat, salah tangkap, hingga praktik korupsi. Namun, mekanisme ini bersifat selektif dan diskriminatif: kasus yang tidak viral kerap tenggelam tanpa kepastian hukum. Oleh karena itu, viralitas seharusnya tidak dijadikan tolak ukur keadilan, melainkan sinyal bahwa sistem hukum masih lemah dan bergantung pada tekanan eksternal (Peran Media Sosial Dalam Penegakan Hukum Dan Persepsi Publik – TIMES Indonesia, n.d.).

Contoh nyata terlihat dalam kasus Mario Dandi pada 2023. Perhatian publik yang masif mempercepat proses hukum, sementara banyak kasus serupa yang tidak tersorot publik berjalan lamban dan berbelit. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah merdeka selama delapan dekade, hukum masih bergantung pada sorotan massa digital, padahal suara merdeka seharusnya berdiri tegak di atas prinsip konsistensi dan keadilan tanpa syarat viralitas. Setelah melihat lemahnya penegakan hukum akibat korupsi, intervensi politik, dan dominasi opini publik, pertanyaan penting muncul: siapa yang dapat menjadi penggerak perubahan? Jawabannya adalah generasi muda.

Mereka tidak hanya pewaris bangsa, tetapi juga agen pembaruan yang mampu menegakkan prinsip keadilan melalui pendidikan hukum, kesadaran kritis, dan partisipasi aktif dalam gerakan sosial. Generasi muda dengan bekal pendidikan hukum yang memadai dapat membentuk integritas pribadi sekaligus memperkuat sistem hukum nasional (Putri Amalia & Nuur Azizah, 2022). Selain itu, generasi muda dapat memanfaatkan teknologi digital. Kehadiran platform pemantau transparansi hukum, komunitas advokasi berbasis data, hingga kanal pelaporan resmi praktik korupsi korupsi dan intervensi politik menjadikan mereka pengawas yang efektif sekaligus suara kritis di ruang publik.

Dengan peran solutif ini, generasi muda tidak sekadar menjadi pengamat, tetapi aktor nyata yang memastikan Dengan peran solutif ini, generasi muda tidak sekadar menjadi pengamat, tetapi aktor nyata yang memastikan hukum tegak di atas prinsip konsistensi dan keadilan, sejalan dengan semangat kemerdekaan yang menolak tunduk pada kebisingan viralitas (Raifangga et al., 2025). Penegakan hukum di Indonesia masih terjebak dalam lingkaran persoalan yang sama: korupsi yang mengakar, intervensi politik yang melemahkan independensi, serta tekanan opini publik yang sering menjadikan hukum tunduk pada viralitas, bukan pada prinsip keadilan.

Fenomena “No Viral, No Justice” memperlihatkan betapa rapuhnya sistem hukum ketika sorotan massa lebih menentukan jalannya keadilan. Namun, di tengah kondisi tersebut, generasi muda hadir sebagai harapan baru. Melalui bekal pendidikan hukum, kesadaran kritis, dan pemanfaatan teknologi digital, mereka mampu membangun integritas pribadi sekaligus mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum. Dengan peran aktif ini, generasi muda dapat menjadi penggerak perubahan yang memastikan hukum kembali tegak di atas konsistensi dan keadilan.

Delapan puluh tahun sejak Indonesia merdeka, kebebasan sejati tidak cukup hanya diproklamasikan, tetapi harus diwujudkan dalam sistem hukum yang adil, independen, dan terbebas dari tekanan kekuasaan maupun kebisingan opini. Kini saatnya generasi muda menyalakan “suara merdeka” mereka, bukan sekadar sebagai pengamat, melainkan sebagai penggerak yang memerdekakan kembali hukum. Dengan begitu, keadilan tidak berhenti sebagai jargon, melainkan menjadi kenyataan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai buah nyata dari kemerdekaan.

Narasi: Dina Sayyidatul Mar’ah

TERKAIT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
LPM Ekonomika FBE UII

Terpopuler