Kebijakan yang mengejutkan hadir dari Kementerian Keuangan. Melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyalurkan dana publik sebesar Rp200 triliun ke lima Bank milik negara (BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI). Kebijakan ini bertujuan sebagai upaya untuk memperkuat likuiditas perbankan, menurunkan biaya kredit, dan mendorong sektor riil di tengah ekonomi yang sedang lesu. Namun, di balik angka yang fantastis, muncul pertanyaan utama, apakah uang rakyat sebesar itu benar-benar dapat membangkitkan aktivitas perekonomian? Atau justru akan mengendap dalam sistem perbankan?
Kebijakan ini diputuskan bukan tanpa landasan. Menurut KMK 276 Tahun 2025, dana ini akan disalurkan dalam bentuk deposito on call selama enam bulan dengan bunga 80,476% dari BI 7 – Day Deverse Repo Rate. Tujuannya untuk melonggarkan likuiditas agar suku bunga turun, biaya pinjaman lebih murah, dan investasi dapat bangkit kembali. Meskipun demikian, bagi beberapa ekonom, langkah ini merupakan suatu kebijakan yang penuh risiko. Dosen Ilmu Ekonomi FBE UII, Dr. Rokhedi Priyo Santoso, S.E., MIDEC, memberikan tanggapan bahwa kebijakan ini efektif apabila kredit benar-benar mengalir ke sektor produktif, bukan hanya sekadar tersimpan di bank.
“200 triliun itu jumlah yang sangat besar. Tambahan dana sebesar itu tentu menjadi dorongan likuiditas yang signifikan bagi sektor perbankan. Namun di sisi lain, kita sedang menghadapi kondisi di mana sektor kredit masih lesu dan permintaan pembiayaan dari masyarakat belum terlalu kuat. Maka dari itu, hal ini bisa menjadi tantangan sekaligus peluang,” ujar Dr. Rokhedi Priyo Santoso, S.E., MIDEC.
Masalah struktural di Indonesia bukan lagi terletak pada ketersediaan uang, tetapi pada kebijakan perputaran uang. Tambahan likuiditas sebesar Rp200 triliun tentu saja tidak otomatis membuat kredit tumbuh. Sektor riil saat ini sedang menahan diri terhadap permintaan lemah, konsumsi rumah tangga stagnan, dan banyak pelaku usaha memilih untuk menahan ekspansi. Apabila dana tersebut tidak cepat terserap, stimulus ini akan menjadi penempatan pasif yaitu, kondisi dimana dana hanya disimpan tanpa menyalurkannya ke sektor riil, tetapi tidak berdampak. Padahal tujuan kebijakan fiskal semestinya untuk menciptakan multiper effect, mendorong konsumsi, menciptakan lapangan kerja, dan membangkitkan investasi.
Pemerintah menaruh harapan besar agar bank dapat segera menyalurkan dana ke sektor usaha, tetapi dorongan seperti ini dapat memunculkan risiko baru, yaitu moral hazard. Ketika bank diminta menyalurkan kredit dalam waktu singkat, potensi Non-Performing Loan (NPL) atau kredit macet dapat meningkat karena proses seleksi yang longgar.
“Kalau bank terburu-buru menyalurkan kredit hanya demi memenuhi target penyerapan dana, kehati-hatian bisa menurun. Akibatnya, Non-Performing Loan (NPL) berisiko meningkat karena kualitas kredit yang disalurkan menurun.”
Dr. Rokhedi Priyo Santoso, S.E., MIDEC., menegaskan bahwa tambahan dana yang besar bisa membuat bank menjadi lebih longgar dalam memberikan pinjaman, padahal kondisi ekonomi sedang lesu. “Kalau terlalu longgar, risiko kredit macet akan naik. Maka dari itu, penyaluran dana harus disertai dengan prinsip kehati-hatian agar tidak menimbulkan masalah baru di sistem perbankan.”
Kebijakan ini juga turut menyentuh aspek keadilan ekonomi. Apabila dana fantastis ini hanya mengalir ke korporasi besar, manfaatnya tidak berdampak bagi UMKM dan sektor informal yang justru menjadi tulang punggung lapangan kerja nasional. Pemerintah seharusnya memastikan bahwa sebagian dana dialokasikan dalam bentuk kredit afirmatif, bunga rendah untuk usaha mikro dan kecil, atau bahkan cash transfer bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendongkrak demand karena tanpa adanya demand, likuiditas hanya terus berputar di ruang kosong.
Pokok Pengaturan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 dinilai sudah cukup ketat. Melalui kebijakan ini dana tidak boleh digunakan untuk membeli SBN, tenor dibatasi, dan pelaporan wajib. Namun, berdasarkan sejarah kebijakan fiskal Indonesia, kebijakan sering kali tidak sejalan dengan praktik yang sesungguhnya. Jika tidak ada pengawasan publik dan penegakan sistem hukum yang jelas, maka dana Rp200 triliun ini berpotensi menimbulkan inefisiensi fiskal. Menurut Dr. Rokhedi Priyo Santoso, S.E., MIDEC, efektivitas kebijakan ini bertumpu pada kekuatan regulasi dan sistem pengawasan. “Regulasinya harus kuat, begitu pula dengan mekanisme monitoring. Pemerintah perlu memastikan alokasi dana digunakan sesuai dengan tujuan dan apabila ada pelanggaran harus disertakan dengan tindakan penyelesaian.”
Dr. Rokhedi menilai kebijakan ini tidak bisa berdiri sendiri, perlu adanya sinergi dengan kebijakan lain agar dampaknya tetap optimal, seperti penyederhanaan perizinan usaha dan peningkatan iklim investasi di sektor riil. “Kalau kredit melimpah, tetapi usaha masih sulit karena birokrasi yang rumit, maka dampaknya tidak akan maksimal.”
Pemerintah perlu mendorong dan melibatkan perbankan daerah dalam pengalokasian dana karena perbankan daerah lebih dekat dengan pelaku usaha kecil dan menengah. “Bank daerah lebih memahami karakter dan kebutuhannya sehingga penyaluran kredit bisa lebih selektif dan tepat sasaran.”
Kebijakan dana Rp200 triliun ini menggambarkan optimisme pemerintah dalam menghadapi pelemahan ekonomi. Namun, di sisi lain kebijakan ini juga menggambarkan ketergantungan pada sektor perbankan sebagai saluran utama stimulus. Padahal, daya serap sektor perbankan kini semakin terbatas dibandingkan sebelumnya. Apabila kebijakan ini berhasil, langkah ini menjadi penyelamat ekonomi nasional dan menjadi tiang koordinasi fiskal moneter.
Narasi : Nouva Elsa Dewitasari
Editor : Yohana
Ilustrasi : Dwi Kurniawan Syach


