Opini

WAJAH SOSIAL KEKAYAAN

(Sumber Foto : ramalanmimpi.com)

Oleh: Ridho Haga Pratama

Bacaekon.com-Opini. Uang dalam dirinya tak memiliki fungsi lain selain untuk dipertukarkan dengan komoditas. Ia jelas berbeda dengan sepatu yang berguna sebagai alas kaki yang melindungi telapak kaki dari kerikil, atau mantel yang melindungi tubuh dari hawa dingin. Uang dapat digunakan sebagai pengganti tisu untuk mengusap keringat mungkin, tapi senilaikah selembar kertas yang tertera nominal 100 ribu Rupiah di atasnya dengan selembar tisu?

Uang memiliki nilai guna selayaknya kertas pada umumnya, tapi tak setara tentunya menukarkan selembar 100 ribu Rupiah dengan selembar folio meski keduanya sama-sama kertas. Uang seperti memiliki dua wajah dalam dirinya. Pertama, sebagai kertas pada umumnya (wajah alaminya). Kedua, sebagai alat tukar dengan komoditas lain (wajah relasi sosialnya). Lantas, apa yang sebenarnya direpresentasikan oleh wajah keduanya ini, wajah relasi sosialnya? Bagaimana nilai guna uang sebagai kertas dan sebagai alat tukar dapat berselisih begitu jauh?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, mula-mula dapat dilakukan dengan membedah prakondisi yang memungkinkan uang menunjukkan fungsinya sebagai alat tukar. Untuk menunjukkan fungsinya sebagai alat tukar, satu-satunya tempat di mana uang dapat berfungsi adalah dalam peristiwa pertukaran. Coba bayangkan suatu pulau yang hanya dihuni oleh seorang manusia dengan sekoper penuh uang bersamanya. Dalam kondisi ini, apakah pertukaran dimungkinkan untuk terjadi? Secara tegas kita dapat menjawab tidak.

Sebagai fenomena relasi sosial, pertukaran tak dimungkinkan tanpa satu manusia berelasi dengan manusia lainnya. Dalam contoh tersebut, tempat yang hanya dihuni oleh satu manusia membuat relasi menjadi tak dimungkinkan, begitupun dengan pertukaran. Oleh karena pertukaran tak dimungkinkan, maka uang tak memperoleh ruang untuk berfungsi, tak dimungkinkan untuk berfungsi.

Dalam dunia tanpa pertukaran, uang tak akan lebih dari selembar kertas biasa. Uang dengan nominal 1000 Rupiah tak akan berbeda dengan yang bernominal 100 ribu Rupiah, tak juga berbeda dengan selembar kertas folio biasa. Tanpa relasi social, yang tersisa dari uang adalah sifat alaminya sebagaimana kertas pada umumnya.

Penjelasan tadi mungkin dapat menunjukkan bagaimana manfaat uang sebagai alat tukar muncul di samping manfaat alamiahnya sebagai kertas. Namun begitu, penjelasan tersebut belum menjawab apa yang direpresentasikan oleh nominal Rupiah yang tertera pada uang, atau dalam bahasa yang berbeda, tak bisa menjawab apa sebenarnya yang ditunjukkan dari selisih antara seribu Rupiah dan 100 ribu Rupiah. Karenanya telisik kita belum selesai.

Sejarah Nilai

Dalam ilmu fisika, Newton menemukan bahwa gravitasi adalah apa yang menyebabkan apel jatuh. Dalam peristiwa yang tampak (apel jatuh), Newton menemukan fenomena tak tampak yang menjadi mekanisme penyebab jatuhnya apel, yakni gravitasi. Penyebab tak tampak ini juga yang mula-mula diidentifikasi dalam ilmu ekonomi, mekanisme yang mendorong munculnya fenomena pertukaran. Gravitasi dalam fenomena pertukaran, inilah yang berusaha ditemukan dalam teori nilai tokoh-tokoh ekonomi neoklasik seperti Carl Menger, William Jevons, dan Leon Walras.

Sebelum memulai kembali penjelasan tentang makna nominal yang tertera di atas uang, ada baiknya kita melakukan wisata sejarah sejenak tentang nilai. Ada masa ketika para cendikia sosial ekonomi mencoba mencari penjelasan atas problem keseukuran dalam pertukaran. Pertanyaan utama yang saat itu menjadi topik hangat adalah apa yang menjadi penyebab dua komoditas dengan nilai-pakai yang berbeda dapat dipertukarkan? Atas dasar apa empat tangkup roti dapat dipertukarkan dengan sebuah sepatu?

Dilihat secara kualitatif, buah mangga memiliki nilai pakai sebagai penghasil energi sedangkan sepatu memiliki nilai pakai kualitatif sebagai pelindung kaki. Syarat bagi dua barang dapat dipertukarkan adalah ketika keduanya memiliki nilai yang seukur dan memiliki kesamaan satuan. Namun, roti dan sepatu jelas memiliki nilai kualitatif yang berbeda. Sekilas seakan terlihat tak mungkin menyeukurkan kalori dan meter, satuan energi dan satuan panjang. Nilai pakai yang bersifat kualitatif tidak dapat digunakan untuk menjelaskan pertukaran dua komoditas. Hal ini dikarenakan nilai pakai kualitatif selalu bersifat spesifik. Artinya tergantung pada barangnya, nilai pakai suatu komoditas dapat berbeda-beda.

Adam Smith, David Ricardo, dan Karl Marx turut ambil bagian dalam usaha menjelaskan fenomena ini. Sebelum ketiganya dipisahkan dalam kelompok ekonom pro pasar bebas (Smith dan Ricardo) dan ekonom perencanaan terpusat (Marx), mereka lebih dulu bersepakat pada satu hal, kesamaan di antara dua komoditas yang dipertukarkan terletak pada pencurahan kerja yang dibutuhkan untuk berproduksi. Tak ada satupun komoditas yang diproduksi tidak dimulai dari kerja. Dan yang paling penting, kerja dapat dihitung secara kuantitatif dalam jam kerja, karenanya kerja dapat digunakan sebagai alat ukur universal untuk setiap komoditas. Setangkup roti dapat diproduksi dalam 3 jam, sementara memproduksi sepasang sepatu membutuhkan waktu 12  jam, oleh karenanya agar roti dapat setara dengan sepatu, jumlah roti harus berjumlah 4 tangkup (4 Roti = 1 sepatu). Penjelasan ini kemudian dikenal sebagai teori nilai klasik.

Dalam penjelasan klasik ini, nilai suatu komoditas ditentukan oleh mereka yang mengerjakan (produsen) dan terjadi dalam proses produksi. Selain itu, nilai komoditas bersifat objektif, artinya ditentukan oleh nilai yang telah melekat atau inheren dalam objek produksi itu sendiri. Namun begitu, penjelasan ini tak bisa digunakan untuk menjawab bagaimana barang seni seperti lukisan yang mampu dibuat dalam 2 hari kerja dapat dinilai lebih tinggi dari 2 rumah yang pembangunannya membutuhkan waktu kerja 8 bulan.

Tidak setiap barang yang diproduksi dapat terjual. Seorang programmer tidak membeli cangkul, bukan karena tidak mempunyai jumlah uang yang setara dengan nilai kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi cangkul, melainkan karena ia tidak membutuhkannya, tak bermanfaat baginya. Sebaliknya seorang petani tidak membeli komputer, bukan karena tak mampu membayar, melainkan karena ia tak membutuhkannya, tidak bermanfaat baginya. Cangkul tetap memiliki fungsi untuk menggarap tanah, dan komputer tetap memiliki fungsi untuk mengolah perhitungan data kompleks. Namun di hadapan konsumen dengan latar belakang profesi berbeda, layak-tidaknya suatu komoditas dibeli adalah karena pertimbangan kebutuhan atau manfaat yang dihasilkannya.

Inilah yang diajukan oleh ekonomi neoklasik, Menger, Jevons, dan Walras. Kerja tidak menentukan nilai suatu komoditas dalam pertukaran, evaluasi konsumen akan kebutuhan dan manfaatlah yang menentukan. Sebesar apapun jam kerja yang dibutuhkan untuk berproduksi, jika ia tak memberi manfaat apapun bagi konsumen, ia tak bernilai. Alih-alih jumlah kerja, bagi ekonom-ekonom ini, nilai suatu komoditas ditentukan oleh evaluasi subjektif konsumen akan manfaat yang ada pada komoditas terhadap dirinya.

Berbeda 180 derajat dari ekonom klasik yang melihat nilai sebagai sesuatu yang bersifat objektif dan dihasilkan dalam aktivitas produksi oleh produsen, paham neoklasik melihat nilai komoditas berasal dari subyektifitas relatif konsumen yang berlangsung dalam aktivitas sirkulasi atau pertukaran.

Apa yang kita dapatkan dari perdebatan ini adalah penjelasan bahwa pertukaran didorong oleh pencarian manusia atas kepuasan yang hanya bisa diperoleh dari konsumsi atas manfaat komoditas. Manusia mencari dengan sepatu karena ingin mengkonsumsi manfaatnya sebagai pelindung kaki, mencari roti karena ingin mengkonsumsi manfaatnya sebagai penghasil energi bagi tubuh, kemudian mencari mantel karena ingin mengonsumsi manfaatnya sebagai pelindung tubuh. Inilah gravitasi dalam pertukarannya Menger, Jevons, dan Walras: pencarian atas manfaat atau pemenuhan kebutuhan.

Analisis Tiga Lapis Atas Uang

Teori nilai komoditas yang diajukan ini seakan berusaha mengatakan bahwa bukan karena jumlah kerja yang dibutuhkan untuk membuat rumah tinggi sehingga rumah menjadi mahal, melainkan karena memang konsumen menilai secara subjektif bahwa rumah memiliki manfaat atau utilitas tinggi maka harga sebuah rumah menjadi mahal. Artinya semakin besar manfaat yang ditawarkan sebuah komoditas, maka semakin besar pula nominal uang yang harus dipertukarkan untuk memperolehnya.

Dalam peristiwa yang tampak dalam pertukaran, uang hanya merepresentasikan terjadinya pertukaran atas komoditas. Jika uang dinotasikan dengan U dan komoditas dengan notasi K, maka pertukaran yang tampak adalah sebagai berikut. Komoditas (K) dipertukarkan dengan Uang (U) sebelum selanjutnya dipertukarkan kembali dengan komoditas berbeda (K’)

K – U – K’

Namun berangkat dari perspektif Menger, Jevons, dan Walras, kita mendapatkan bahwa apa yang direpresentasikan oleh komoditas adalah manfaat. Di sini kita memperoleh analisis tiga lapis dalam pertukaran. Melanjutkan penotasian formal di atas, dengan menambahkan variabel manfaat yang dinotasikan sebagai M, maka pertukaran yang terjadi adalah sebagai berikut. Perukaran antara dua komoditas yang berbeda (K – U – K’) dalam bentuknya yang paling esensial adalah pertukaran antar manfaat yang melekat dalam komoditas (M – U – M’)

M – K – U – K’ – M’

Notasi di atas menunjukkan bahwa uang merepresentasikan nilai pertukaran komoditas, dan komoditas merepresentasikan pertukaran dan penerimaan atas manfaat. Dengan memberlakukan silogisme sederhana, kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

Premis 1:         Uang merepresentasikan komoditas

Premis 2:         Komoditas merepresentasikan manfaat

Kesimpulan:    Uang merepresentasikan manfaat

Seperti gravitasi, inilah wajah uang yang tidak ditampakkan dalam proses pertukaran, manfaat. Sebagai benda yang hanya berfungsi sebagai alat tukar, uang hanya dapat dipergunakan dalam proses pertukaran. Artinya setiap kali uang dikeluarkan, saat itu juga pertukaran tengah terjadi. Lalu setiap kali pertukaran terjadi, ia juga berarti ada manfaat yang dipertukarkan dan diperoleh atau kebutuhan yang terpenuhi. Kepemilikan atas uang menunjukkan adanya manfaat yang telah diberikan pada orang lain. Dan semakin besar nominal uang, semakin manfaat telah diberikan pada orang lain.

Ketika penjelasan yang dipenuhi notasi dan analogi ini saya tunjukkan kepada seorang kerabat, sekonyong-konyong ia bertanya, “terus apa yang sebenarnya ingin kamu tunjukkan dari penjelasan sepanjang ini?”

“Jadilah kaya dan hormati orang kaya, sejatinya mereka telah memberikan banyak manfaat untuk orang lain. Bukankah orang yang baik adalah yang memberi banyak manfaat bagi orang lain?” Begitu saya jawab. Tidakkah itu juga alasan Produk Domestik Bruto dijadikan ukuran kesejahteraan? Bahwa uang menunjukkan jumlah manfaat yang dihasilkan dan dikonsumsi rakyat? Jumlah kepemilikan atas uang menunjukkan tingkat perolehan manfaat dan kebutuhan yang dikonsumsi orang lain. Benarkah?

 

Referensi:

Skousen, Mark. 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Sang Maestro: Teori-teori ekonomi modern. Jakarta: Prenada Media

Suryajaya, Martin. 2010. Asal Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dari Aristoteles sampai Amartya Sen. Yogyakarta: Resist Book

Suryajaya, Martin. 2013. Marxisme dan Alkimia. http://indoprogress.com/2013/04/marxisme-dan-alkimia/ diakses pada 14 Oktober 2016

6107 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *