Berita Yogyakarta

Tiga Tuntutan terhadap Kebijakan yang Menimbulkan Kerugian

Foto : Agung Bramasta

Narasi : Amanda Amelia dan Naufal Rahendra

Bacaekon – Aliansi Yogyakarta Menggugat (AYM) menjalankan aksi unjuk rasa di halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DPRD DIY) pada Senin, (03/04). Massa demonstran melayangkan tiga tuntutan, meliputi penolakan terhadap UU Cipta Kerja (Ciptaker), menolak penundaan Pemilu, serta menuntut pendidikan gratis di Provinsi DIY dan tolak komersialisasi kapitalisasi pendidikan.

Cabut UU Ciptaker

Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang sebagai pengganti dari UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi polemik bagi golongan pekerja dan buruh. Kegiatan tersebut tidak mengindahkan Keputusan MK Nomor 91 yang memberikan waktu selama dua tahun untuk merevisi UU Cipta Kerja. Ketetapan ini dinilai tidak sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sikap DPR yang kontradiktif menjadi titik berat karena tidak adanya alasan yang mendesak untuk segera diterbitkannya UU Ciptaker.

Terdapat beberapa pasal yang merugikan, diantaranya penetapan upah minimum kabupaten atau kota, penentuan formula perhitungan upah minimum, pasal tentang outsourcing, pasal tentang pesangon, pasal tentang PHK dan lain sebagainya. Penetapan pasal pada upah minimum misalnya, seperti dalam Pasal 88D tertulis:

  1. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan upah minimum.
  2. Formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

Ayat (2) dalam Pasal 88D mendapat penolakan akibat perhitungan upah buruh akan dihitung dengan meninjau pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu, dimana indeks tersebut menimbulkan ketidakjelasan pengukurannya. Di lain sisi, munculnya penolakan terhadap UU Ciptaker didasarkan atas tindakan pengesahan yang terkesan dipaksakan dan dilakukan secara tidak transparan.

“Sudah seharusnya DPR yang menjadi perwakilan bagi rakyat, mendukung aspirasi maupun melindungi hak-hak pekerja, khususnya golongan menengah kebawah yang didominasi buruh. Sayangnya, hal ini justru terjadi sebaliknya bahwa DPR yang seolah olah menjalankan keinginan dan keputusannya tersendiri,” tutur Daffa perwakilan dari BEM KM UGM.

Selaras dengan hal ini, sejak awal penerapan UU Ciptaker dinilai cacat secara hukum. Seolah melalui peran wakil rakyat, ingin menerapkan aturan yang memihak kapitalis dengan aturan yang ditulis dalam UU tersebut. Adanya pasal yang menyatakan bahwa hak-hak pekerja dipangkas melalui penambahan jam kerja, pemotongan tunjangan, dan tidak adanya aturan yang ketat untuk mengizinkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.

Tolak Penundaan Pemilu 

Aliansi Yogyakarta Menggugat (AYM) juga menentang adanya penundaan pemilu dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.  Mengutip dari Tempo, Feri Amsari selaku pakar Hukum Tata Negara  menyebutkan, penundaan ini dianggap melampaui yurisdiksi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Pasal 10 dalam Pasal 11. Oleh karena itu, pengadilan negeri harus melimpahkan perbuatan melanggar hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

PN Jakpus melalui gugatan yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dinilai telah melanggar UUD 1945 yang mana memberi keputusan untuk melaksanakan pemilu setiap lima tahun sekali.  Adanya putusan PN Jakpus dinilai tidak adil bagi KPU. Dilansir dari website resmi MPR, perwakilan dari Partai Gerindra berpendapat agar penundaan pemilu ini dibatalkan, dan KPU perlu mengajukan banding yang kuat agar dapat berkomitmen pemilu 2024. 

Gratiskan Pendidikan di DIY dan Tolak Komersialisasi Kapitalisasi Pendidikan

Tuntutan terakhir mengenai gratiskan pendidikan dan penolakan terhadap komersialisasi kapitalisasi pendidikan di DIY. Hal ini ditinjau dari permasalahan mengenai biaya pendidikan mahal yang kerap terjadi terutama pada jenjang pendidikan SD hingga SMA. Namun, Dilansir dari detiknews kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Mutu Pendidikan Disdikpora DIY, Didik Wardaya mengungkapkan, “Sebenarnya untuk tingkatan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di DIY sudah dibebaskan dari biaya pendidikan (SPP) sejak tahun 2017, dan saat ini program (pembebasan SPP) terus berlangsung.” 

Disisi lain, dunia pendidikan tidak terlepas dari isu negatif tentang adanya pungutan liar di sekolah negeri di Yogyakarta. Dilansir dari Kompas.com, meskipun kota Yogyakarta selama ini dikenal sebagai kota pelajar dan sebagai acuan standar pendidikan di Indonesia tetap saja tidak terlepas dari permasalahan yang dimunculkan oleh oknum.

Dari tuntutan tersebut diharapkan DPRD DIY dapat membantu masyarakat untuk dapat mempertimbangkan adanya peninjauan kembali dan penyampaian aspirasi dari mahasiswa sebagai perwakilan dari masyarakat DIY.

Reporter: Amanda, Naufal, Chasil ,Ghifar

Editor : Nur’Alif Nafilah

810 Total Views 3 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *