SULTAN: UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 TIDAK SEPENUHNYA BERLAKU DI YOGYAKARTA
(foto : Indonesian Visual Art Archive)
Oleh: Ilham Aditya Perdana
Bacaekon.com-OPINI. Arus konflik berkaitan dengan agraria seperti tiada hentinya berhembus di antara warga Yogyakarta, inventarisasi aset berupa tanah yang disebut Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PG) yang merupakan tindak lanjut dari dikeluarkannya Undang-undang No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY Pasal 43 huruf (c) yang berisi tugas sultan untuk “Melakukan inventarisasi dan identifikasi tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten”. Permasalahan pada pasal tersebut terletak pada pelaksanaannya, dalam pelaksanaannya, tanah-tanah yang telah di inventarisasi dan di identifikasi sebagai tanah Kasultanan atau tanah Kadipaten (Pakualaman) beberapa diantaranya menimbulkan sengketa bukan hanya antara warga dan Kasultanan, tetapi pemilik modal, dan bahkan Badan Usaha Milik Negara turut terlibat atas imbas adanya sengketa tanah yang diakui sebagai milik Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ni’matul Huda, pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia. Dia sering diminta sebagai pakar ahli pada sesi rapat di dewan daerah mengenai urusan hak keistimewaan dan tata negara, serta akademisi yang dilibatkan dalam penyusunan draf UU Keistimewaan DIY. Huda menulis buku Status Hukum Tanah Keraton Yogyakarta Setelah diberlakukannya Undang-Undang No 5 tahun 1960 di Provinsi DIY (UII Press, 1997). (Sumber: pindai.org/2015/12/23)
Menurutnya, persoalan kedua jenis tanah itu semestinya selesai sejak 1984. Pada tahun itu, pemerintah DIY menerbitkan Peraturan Daerah nomor 3 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di DIY. Pada tahun yang sama Presiden Soeharto telah mengeluarkan keputusan nomor 33 tentang hal serupa. (Sumber: pindai.org/2015/12/23)
Namun di sisi lain, Sultan punya pendapat lain yang bertolak belakang dengan pernyataan ahli hukum tata negara, Sultan menyatakan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak sepenuhnya berlaku di Yogyakarta. Selain itu Sultan juga menambahkan pernyataannya bahwa gumuk pasir ini adalah satu di antara tanah Kasultanan. Dan negara mengakui keberadaannya dalam “hak asal-usul” tanah. “Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria memang tidak sepenuhnya berlaku di Yogya,” katanya. (Sumber : http://pindai.org/2015/12/23)
Bagaimana dengan warga yang bersengketa di atas lahan-lahan itu?
“Bukan urusanku”.
Baginya, keraton telah memberikan hak pakai pada seseorang. Jika hak itu diambil orang lain, maka yang terjadi adalah urusan antara penerima hak dan orang tersebut. (Sumber : http://pindai.org/2015/12/23)
Ada yang disebut dengan istilah ‘Kekancingan’, kekancingan adalah surat pinjam-pakai atas tanah yang diklaim milik, dan diterbitkan keraton yang diterbitkan oleh lembaga pengelola tanah kesultanan atau yang biasa disebut dengan panitikismo. Keraton dalam hal ini memiliki kewenangan untuk melakukan pemberian hak pinjam-pakai tanah kepada seseorang. Bahkan sempat terjadi sengketa terkait pemberian hak pinjam-pakai hingga berakhir pada pengabulan gugatan sebesar 1,12 milyar oleh Pengadilan negeri Yogyakarta kepada PKL (Pedagang Kaki Lima-red) yang menempati sebagian kecil tanah milik keraton tersebut karena enggan berpindah meskipun Eka Aryawan sudah mendapatkan surat kekancingan atas tanah tersebut dari panitikismo. (Sumber: http://pindai.org/2015/12/23)
Lain halnya dengan yang terjadi dengan PT. Kereta Api Indonesia (KAI), PT. KAI Daop 6 Yogyakarta yang menyatakan bahwa, pencatatan aset milik mereka di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih belum optimal. Hal ini karena banyaknya aset tanah milik perusahaan negara ini yang terganjal adanya Sultan Ground (SG). (Sumber: jogja.tribunnews.com/2016/12/04)
Di sisi lain, persoalan status tanah PT. KAI ini meruncing setelah ahli waris dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengklaim jika tanah yang dipasang papan larangan atas penggunaan lahan tanpa izin oleh PT. KAI di Bumijo, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, adalah milik mereka. (Sumber: jogja.tribunnews.com/2016/12/05)
Sri Hermani WK yang mengaku diberi kuasa oleh ahli waris Sri Sultan HB VII untuk mengurus tanah tersebut menjelaskan, pihaknya memiliki bukti-bukti jika tanah ini merupakan hak milik dari Sri Sultan HB VII. (Sumber: jogja.tribunnews.com/2016/12/0/) Bukti kepemilikan ini juga diklaimnya sudah terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Yogyakarta. “Ini adalah hak milik HB VII pribadi. Dulu namanya Eigendom yang berarti hak milik atas nama Sri Paduka Kanjeng Sultan,” ulasnya. (Sumber: jogja.tribunnews.com/2016/12/05/)
Mungkin ini hanya sebagian kecil gambaran sengketa agraria yang terjadi di Yogyakarta, masih banyak sengketa-sengketa yang melibatkan masyarakat provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan pemerintah daerahnya. Lebih jauh lagi tahapan sengketa ini sudah mulai turut melibatkan Badan Usaha Milik Negara, PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI).
Inventarisasi aset yang dilakukan PT. KAI sebagai badan usaha yang memiliki kepentingan untuk melayani publik melalui transportasi sedikit terusik dengan adanya sejumlah orang yang diduga lebih berhak menggunakan aset. Lebih jauh lagi, kemungkinan akan muncul dampak terganjalnya proses inventarisasi bisa terjadi pada kinerja pelayanan PT. KAI apabila sengketa ini tidak kunjung menemui jalan keluar.
Tidak hanya itu, yang menimbulkan pendapat bahwa sudah selayaknya pemerintah pusat turut ikut campur tangannya akan sejumlah sengketa tanah yang terjadi di DIY, karena sengketa yang terjadi jelas masih dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Hal lain yang menimbulkan pendapat bahwa pemerintah pusat berhak campur tangan dalam urusan ini adalah pernyataan Sultan yang menyebutkan bahwa Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tidak berlaku sepenuhnya di dalam batas wilayah yang telah disebutkan dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Seakan-akan saat ini DIY memiliki peraturan sendiri tentang agraria, padahal peraturan yang lebih dulu dikeluarkan sebelumnya pada Peraturan Daerah Propinsi DIY No. 3 tahun 1984 menyebutkan bahwa Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria telah berlaku sepenuhnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pemerintah pusat sebaiknya turut melakukan usaha perbaikan sengketa agraria yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, karena Yogyakarta saat ini dalam situasi yang bisa disebut darurat agraria, dan sebaiknya mengembalikan tanah-tanah yang bersengketa kembali digunakan untuk kepentingan publik dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat serta kembali menuju jalan yang sebaik-baiknya sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria.