Sial, Ragu Terus Mengganggu Alur Waktu
Ilustrasi: Asa Ramadhani
Oleh: Nur’Alif Nafilah
Bacaekon – Perasaan ragu sudah menjadi belenggu. Hal apapun yang menghampiri, semua tak bisa buat hati mencapai utuh. Memiliki pribadi rapuh memang tak pernah buat dia merasakan harapan menjadi kenyataan. Ariana Deo Hemaprabha, si wanita pendiam dan penuh dengan ketakutan. Tiap hari, ia selalu berlagak berani jalani hari untuk mendapat arti, setiap langkah kaki dipaksa seakan disertai warna-warni. Namun, pada penghujung hari, Ari tetap saja pada akhir yang sesuai prediksi.
Kisah ini tentang kehidupan kuliah, asmara, dan hubungannya dengan dirinya sendiri. Ari bukan orang yang percaya diri, dan dia menyadari hal itu. Ragu yang muncul dalam dirinya berawal dari rasa percaya dirinya yang amat rendah. Bagi Ari, memuji diri bukanlah hal yang harus dilakukan olehnya, namun menilai buruk diri sendiri sudah menjadi hal mutlak yang setiap hari ia lakukan. Dalam pikirannya, jika satu harinya ia jalani dengan percaya diri dan senyum berseri, maka kabar yang membawa sedih akan kembali.
Ari sangat benci rasa sedih. Ia sadar ketika sedih datang, pikiran dan tubuhnya hanya akan berdiam diatas kapuk dan tak bergerak seolah tak bernyawa. Semua hal yang harus ia lakukan tak bisa ia selesaikan. Hingga solusi dari pikirannya yang amat sempit mendistraksi jiwanya untuk selalu bereaksi dan berekspresi dengan secukupnya. Ragu akhirnya menjadi pengendali penuh dalam jiwa Ari. Di kehidupannya sebagai mahasiswa, banyak hal yang ia lewatkan karena pengaruh dari rasa ragu.
Selain berbicara tentang ragu, sisi lain dalam dirinya kerap iri melihat wanita yang miliki pribadi lugas, tangguh, dan berani. Pikirnya, jika ia seperti itu, semua hal bisa diraih sesuai keinginannya, sehingga ia akan dengan mudah menerima rintangan dari setiap keputusan yang dibuat. Rasa iri, membuat ia ingin mencoba sebagai peniru, namun ia tak mampu. Hal kecil yang bisa ia bagikan atas cerita ragunya yang setebal buku sejarah, salah satunya ketika mengikuti kelas. Adanya keraguan, membuat kepandaiannya terasa sia-sia.
Kala itu, kelas pagi dimulai seperti biasanya. Tanpa ada saling sapa, Ari duduk di barisan depan, bukan karena ia semangat untuk belajar tapi karena ia ingin segera duduk begitu datang ke kelas. Perkuliahan dimulai, materi mulai dijelaskan dengan dosen menampilkan presentasi yang telah disiapkan. Di sela penjelasan, sudah tak asing jika ada kalanya dosen bertanya kepada mahasiswa tentang apa yang mereka ketahui. Dosen kemudian mempersilakan siapapun itu untuk menjawab. Ari berminat untuk mendapat nilai atas keaktifannya. Tapi sialnya, ragu menghalangi keinginannya itu. Ia malah tetap diam padahal tahu betul jawaban atas pertanyaan Dosen. Entah apa yang ditunggunya, tapi selama 5 menit berlalu, ia hanya diam.
Ragu mulai kuasai kendali. Mengatur pikirannya, mulai dari berpikir takut salah menjawab hingga merasa malu menjadi pusat perhatian. Lima menit berlalu belum saja ada mahasiswa yang menjawab pertanyaan itu. Ari berpikir ini kesempatan. Ingin melawan ragu, namun masih tak mampu. Tak suka keheningan, akhirnya Ari mulai memberanikan diri. Sesaat dia akan angkat tangan, seperdua detik hingga tangannya dilihat oleh Dosen. Teman lain menyela dengan jawaban yang sesuai dengan harapan Dosen saat itu. Tanpa adanya tahapan angkat tangan, mahasiswa tersebut buka suara dalam keheningan dengan lugas seakan tak terbantah. Ari kesal, kesempatannya seakan direbut paksa oleh orang lain. Bukan apa-apa, jawaban dari mahasiswa tersebut sama persis dari apa yang akan Ari jawab. Pujian tentu didapat oleh mahasiswa tersebut, Ari tak akan terlihat. Namun, Ari sebagai salah satu orang yang menyukai pujian mencari hal itu dalam akademiknya. Seperti prediksinya, ia tidak akan pernah mendapatkannya. Ari menyerah untuk berlagak, yang artinya ragu pemenangnya.
Selama masa studinya, Ari tentu tak bisa lepas dari angannya untuk mendapat merah muda di kisahnya. Disamping fokusnya dalam hal akademik, Ari mencari kegiatan lain yang bisa buat ia berlagak menjadi orang sibuk. Namun, niat lain dalam hatinya, tentu bertemu dengan seseorang. Imajinasinya terkadang agak liar, bagi dia yang penakut dan pendiam membayangkan bisa mendapat seseorang yang ia temui dengan adanya banyak interaksi. Sedangkan yang dia lakukan hanya diam, bahkan menyapa pun bisa terhitung oleh jari. Bagaimana ia bisa mendapatkan pembawa warna merona di wajahnya itu, jika ia hanya membatu. Ari tau ia hanya bisa berkhayal. Walaupun secara perlahan, Ari tetap ingin wujudkan khayalannya itu. Membawa sang pelukis warna, ketika dia tidak bisa melukis hidupnya sendiri.
Kala tiba pada ragu yang kembali memimpin emosinya. Ari menemukan seseorang yang membuatnya terkagum-kagum. Tidak lain pria itu adalah rekannya satu komunitas. Perasaannya hanya sebatas kagum terhadap pria itu. Ia menyadari keadaan dan situasinya saat itu. Dirinya tidak mungkin bisa untuk mendapatkan hati pria tersebut secepat membaca cerita pendek. Ari pun tak bisa memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk membuat pria itu meliriknya. Pikiran dan hatinya sepakat, seorang wanita pendiam dan penakut ini, mana mungkin mampu buat seorang pria hebat yang miliki pribadi baik itu menyukainya. Ragu menguasai penuh pikiran Ari.
Berjalannya waktu, kesibukannya sebagai mahasiswa yang miliki kegiatan komunitas. Ia jalani tanpa menemukan tanda adanya merah muda yang membawa kabar gembira. Walaupun, disisi lain interaksi antara dirinya dengan si pria semakin tidak bisa dihindari. Hingga tiba kala pertemuan komunitas diadakan, Ari mulai tak karuan ketika si pria mulai memberinya perhatian. Ia yang tidak pernah bisa untuk memulai percakapan, hanya bisa berdiam diri di tengah banyaknya orang. Hanya tertunduk duduk dan mengandalkan doa agar baterai hpnya tidak habis sebelum selesai. Ari akhirnya sibuk dengan kesibukan yang ia buat-buat hanya untuk tidak menyapa.
Semesta mencoba menguji nyalinya. Pria yang ia sukai tiba-tiba menghampirinya dan memulai pertanyaan hingga menjadi percakapan panjang. Logika menilai jika itu basa-basi, dan perasaan pun menilai jika itu tidak penting, tapi akal liarnya menganggap jika pria itu mulai menyukainya. Ari yang kaget tak bisa sembunyikan wajah merona dan gugupnya. Bagaimana bisa ia sembunyikan, dia memang menyukai pria itu dan dari sekian banyaknya anggota dan rekannya yang lain, pria itu memilih untuk menemani dan berbicara dengan wanita membosankan. Ari tentu salah tingkah. Namun, ia tetap mencoba mengarahkan perasaannya untuk tidak terbawa perasaan yang semakin tidak jelas terhadap pria tersebut. Ari sangat menyadari bahwa lingkungannya saat ini tidak asing dengan istilah friendly. Benar saja, pria itu memang memiliki sikap friendly. Artinya apa yang pria itu lakukan pada Ari, itu berlaku untuk semua orang. Ragu sudah peringati Ari akan hal itu. Keras kepalanya mulai buat ia secara ugal-ugalan ingin patahkan peringatan dari ragunya itu.
Kali ini, Ari tak menuruti ragu. Ari ingin menaklukan waktunya sendiri tanpa ada campur kendali ragu. Pergantian minggu mulai berjalan dengan cepat, dan Ari masih di tempat dan tak bergerak. Ya, untuk tetap menyukai si pria. Ari berkali-kali berlatih, melawan nyali untuk mencoba menyatakan perasaan pada si pria friendly. Namun, ragu didirinya menampar keras dengan kenyataan. Si pria ternyata sudah menemukan wanita yang disukainya, tepat saat Ari sudah menemukan yakin atas dirinya untuk berani berbicara. Waktu yang tak pernah sealur dengan harapan, menertawai Ari. Ari tak pernah mencapai waktu yang tepat dalam melakukan apapun. Ragu yang melekat dalam dirinya, seakan mengawasi dan mengatur kendali atas jiwa dan perasaannya.
Ari akhirnya kembali pada posisi sadar diri. Kepercayaan dirinya menurun drastis karena alur waktu dari kisahnya buat ia sering menangis. Bukan karena kenyataan atas kisahnya dengan pria yang ia sukai, tapi menangis karena dirinya tak bisa lepas dari ragu. Asing mulai muncul mengabari Ari untuk berhenti menyukai. Si pria pun mulai fokus mengejar pengisi cerita di kisahnya. Sedangkan Ari, hanya menghindari interaksi yang buat ia berujung mengasihi kisahnya sendiri. Ari kebingungan atas apa yang harus dilakukan setelah perasaannya tertolak tanpa ada percakapan. Ari terus bergumam setiap langkah pulangnya, setelah sekian banyak upaya yang ia lakukan untuk menghindari interaksi dengan si pria. “Sial, Ragu terus mengganggu alur waktu,” ujar Ari yang kesal. Realita tak henti paksa ia menyerah mengejar si pria ramah.
Editor: Alifia Kusumaningtyas & Naufal Rahendra