Kampus Politik

SERUAN MORAL ATAS DARURAT KENEGARAWANAN

Ilustrasi: Hanan Afif Wirawan

Narasi: Nur’Alif Nafilah 

Bacaekon – Kamis (01/02) Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. menggelar pembacaan pernyataan sikap Civitas Akademika UII terhadap situasi saat ini yang mencerminkan Indonesia darurat kenegarawanan. Pernyataan yang dibacakan merupakan respon Civitas Akademik UII sebagai pengawas dalam memandang adanya situasi yang tidak sehat menjelang pelaksanaan kegiatan pemilihan umum. 

Isi dari Surat Pernyataan Civitas Akademika UII: Indonesia Darurat Kenegarawanan, tersebut menyatakan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk kembali menjadi teladan dalam etik peningga dan praktik kenegarawanan dengan tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga melalui keberpihakan pada salah satu pasangan capres dan cawapres. Presiden harus bersifat netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan bukan untuk sebagian kelompok
  2. Menuntut Presiden Joko Widodo beserta semua aparatur pemerintahan untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan dengan tidak mengerahkan dan tidak memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis termasuk salah satunya dengan tidak melakukan politisasi dan personalisasi bantuan sosial 
  3. Menyeru dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan daerah agar aktif melakukan fungsi pengawasan memastikan pemerintahan berjalan sesuai dengan koridor konstitusi dan hukum, serta tidak membajak demokrasi yang mengabaikan kepentingan dan masa depan bangsa
  4. Mendorong calon presiden dan calon wakil presiden, para menteri, dan kepala daerah yang menjadi tim sukses serta tim kampanye salah satu pasangan calon untuk mengundurkan diri dari jabatannya, guna menghindari konflik kepentingan yang berpotensi merugikan bangsa dan negara.
  5. Mengajak masyarakat Indonesia untuk terlibat memastikan pemilihan umum berjalan secara jujur, adil, dan aman demi terwujudnya pemerintahan yang mendapatkan legitimasi kuat berbasis penghormatan suara rakyat.
  6. Meminta seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama merawat cita-cita kemerdekaan dengan memperjuangkan terwujudnya iklim demokrasi yang sehat.

Pernyataan yang dibacakan atas dasar adanya gejala praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan dari pemimpin negara, Presiden Joko Widodo menjelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) pada 14 Februari 2024. Kondisi ini dimulai dari adanya penetapan putusan dari Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2023 yang menyatakan menyetujui atas peraturan nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut menyatakan persyaratan pasangan capres dan cawapres dengan usia paling rendah 40 tahun atau pernah dan sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan tersebut menimbulkan polemik dan perbedaan pendapat dari berbagai kalangan, pasalnya putra dari presiden Joko Widodo yaitu Gibran Rakabuming Raka mendapat kesempatan dalam mengikuti pencalonan pemilu 2024. Rektor UII, Fathul Wahid memandang bahwa proses putusan ini dinilai sebagai intervensi politik yang mencampuri pengambilan keputusan, hal ini terbukti dengan diberhentikannya ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Anwar Usman. 

Situasi politik mulai diperkeruh dengan munculnya pernyataan Presiden Joko Widodo, mengenai ketidaknetralan institusi kepresidenan dengan membolehkan presiden berkampanye dan berpihak. “Presiden harus bersifat netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan bukan untuk sebagian kelompok,” ungkap Fathul Wahid. Kemunduran demokrasi ini kian diperlihatkan dan terasa nyata, ketika Presiden Joko Widodo melakukan siaran pernyataannya yang menyebutkan bahwa dirinya sebagai Presiden diperbolehkan secara aturan dalam keberpihakan dan melakukan kampanye. 

Pembacaan regulasi yang mendukung yaitu Pasal 299 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, menyatakan presiden dan wakil presiden memiliki hak dalam melakukan kampanye. Berbekal isi dari pasal tersebut presiden kemudian mengklarifikasi bahwa pernyataannya tidak melanggar aturan. Namun, dalam regulasi tersebut dengan jelas tertulis bahwa keberpihakan presiden dan wakil presiden maupun pejabat negara lainnya diperbolehkan berkampanye asalkan tidak menggunakan fasilitas jabatannya, artinya harus dalam keadaan cuti. Sayangnya, Menurut Rektor UII, Fathul Wahid “Perkembangan politik nasional kian menunjukan tanpa rasa malu. Gejala praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara.”

Selain itu, dalam kegiatan Pembacaan Surat Pernyataan Civitas Akademika UII, Rektor Fathul Wahid menyampaikan dasar fenomena darurat kenegarawanan yang paling mutakhir adalah adanya distribusi Bantuan Beras dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang ditengarai syarat akan nuansa politik praktis secara personalisasi, dan penguatan dukungan terhadap pasangan capres dan cawapres tertentu. Terlebih melihat realitas bahwa adanya fenomena mobilitas para aparatur negara demi kepentingan dukungan terhadap pasangan calon tertentu yang telah jelas melanggar hukum dan konstitusi. 

Kegiatan pembacaan Pernyataan Sikap UII menanggapi kondisi darurat kenegarawanan dan potensi ambruknya sistem hukum dan demokrasi ini dihadiri oleh segenap Civitas Akademika UII termasuk para dosen, tendik (tenaga kependidikan), mahasiswa, dan alumni. Fathul Wahid menegaskan bahwa kegiatan ini secara murni sebagai seruan moral yang dilakukan atas kesadaran sebagai warga negara dan tidak partisan, serta tidak bersifat elitis. Penyampaian pernyataan ini dilakukan sebagai bukti kekhawatiran atas berujungnya kehancuran demokrasi dan keresahan atas berjalannya politik secara tidak sehat.

Editor: Alifia Kusumaningtyas 

619 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *