Film Rekomendasi

Seni Melepaskan Masa Lalu Melalui Happy Old Year

Ilustrasi: Agung Bramasta

Narasi: Naufal Rahendra

Bacaekon – Menurut Fumio Sasaki, penulis novel Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang. Minimalisme adalah gaya hidup yang berarti kita mengurangi jumlah barang yang kita miliki sampai pada tingkat minimum. Menurutnya, hidup sebagai minimalis hanya dengan barang paling pokok yang kita perlukan, tidak hanya memberi manfaat sebatas permukaan—ruang yang rapi atau kemudahan membersihkan rumah—tapi juga menciptakan perubahan yang mendasar. Sementara Marie Kondo, penulis novel The life Changing Magic of Tidying Up menjelaskan melalui novelnya bahwa kegiatan membenahi barang sama dengan membenahi masa lalu. Dengan berbenah, ibaratnya adalah menata hidup supaya kita bisa membuka lembaran baru hidup dan maju terus ke depan. 

Film Happy Old Year dengan mengangkat tema melepaskan masa lalu dalam balutan minimalisme. Nawapol Thamrongrattanarit sebagai sutradara serta penulis naskah mengajak kita untuk mengikuti kisah Jean pada proses perjalanannya berbenah rumah dengan penuh emosional yang disampaikan secara melankolis. 

Jean (Chutimon Chuengcharoensukying) ialah seorang arsitek yang baru saja kembali ke Thailand selepas bekerja di Swedia selama tiga tahun. Dirinya memutuskan untuk menerapkan minimalisme serta merombak total rumahnya yang sebagian akan disulap menjadi kantor dengan bantuan dari sahabatnya, Pink (Patcha Kitchaicharoen). Namun, proses berbenah tidak terasa mudah karena rumah Jean dulunya adalah sekolah musik dan tempat reparasi instrumen yang kini penuh dengan barang-barang rongsokan berserakan di seluruh penjuru rumah hingga terasa sesak. 

Ide Jean awalnya ditentang mentah-mentah oleh ibunya (Apasiri Nitibhon) yang bersikap seolah-olah pakar kebersihan. Namun dirinya tidak gentar dan tetap membuang seluruh barangnya tak peduli kenangan maupun sejarah yang dimiliki oleh barang-barang bekasnya. Sang adik, Jay (Thirawat Ngosawang) ikut membantunya agar rumah bisa leluasa demi kenyamanan bersama. 

Dengan membuang seluruh barang bekasnya, Jean ingin terlepas dari masa lalu dan terus berfokus menata masa depannya. Jean yang egois dan tidak berperasaan terusik batinnya saat ditegur oleh Pink yang sakit hati akibat membuang hadiah darinya. Pink memarahinya karena sifat pragmatis Jean dan sukar mengucapkan maaf akibat gengsi tinggi yang dimilikinya. Sehingga dia kerap melakukan hal yang menurutnya benar meskipun itu semena-mena terhadap orang lain. 

Melalui momentum amarah dari Pink, rasa sakit hati yang sama mulai muncul dalam dirinya ketika Jay membuang jaket rajutan hadiah dari dirinya. Jean pun mulai merasa sentimental dan bernostalgia dengan barang-barang dari bekas yang hendak dibuang. Lalu Jean pun mulai memilah barang bekas satu per satu dan memutuskan mana yang hendak dikembalikan kepada temannya atas saran Pink. Sampai suatu ketika dia dihadapkan kepada kamera analog milik mantannya, Aim (Sunny Suwanmethanont) yang memicu kenangan dahsyat. 

Dalam film ini,  konflik yang Jean hadapi tidak hanya sekedar berbenah rumah saja. Namun sejatinya dia juga harus menghadapi masa lalu dia yang belum selesai, dengan menjadikan momen mengembalikan barang menjadi ajang minta maaf kepada orang dulunya pernah ia sakiti. Orang tersebut salah satunya adalah Aim yang akan menjadi tokoh penting dalam film. 

Masa Lalu dan Kenangan di dalamnya

‘Menyembunyikan barang di tempat yang tidak kelihatan memunculkan ilusi seolah-olah situasi yang amburadul sudah teratasi,’ pernyataan Marie Kondo tersebut sangat menggambarkan karakter Jean. Saat Jay tiba-tiba menemukan kamera analog serta roll film milik Aim di kotak sepatu, Jean akhirnya sadar bahwa dirinya belum pernah meminta maaf secara tulus kepada Aim akibat mencampakkannya pasca bertolak ke Swedia. Berkat sensitivitas tersebut Jean meminta maaf serta menuangkan perasaan bersalahnya kepada Aim dan mencoba menyelesaikan masalahnya Titik balik dinamika emosional film ini muncul pada momen pertemuan keduanya setelah sekian lama.

Jean pun sadar ternyata banyak sekali hal yang dia sukai berasal dari Aim, seolah-olah Aim sudah tertanam di kepalanya dan pada akhirnya penonton tahu bahwa Aim memberikan dampak besar pada hidup Jean tanpa dia sadari. Dari sini Nawapol perlahan menyajikan pesan soal kenangan serta closure pada hubungan romantis yang dihadirkan dengan penuh emosional. Setelah dirasa telah ‘berdamai’ dengan Aim, Jean pun dengan terkejut mengetahui bahwa ibu Aim ternyata wafat di tengah absennya Jean di hidupnya, yang menyisakan Aim rasa duka, sakit hati, dan kesepian yang lebih dahsyat dari yang dia kira. Aim pada awalnya tersenyum simpul menyambut permintaan maaf dari Jean, ternyata dibalik itu terdapat amarah yang sangat besar akibat perlakuan semena-menanya. Dia pun mencela Jean agar selalu diliputi perasaan bersalah dan tidak mencoba kabur seperti sebelumnya.

Sosok Ayah

Marie Kondo juga menegaskan bahwa keengganan individu dalam membuang barang tertentu sejatinya hanya berakar pada dua penyebab yaitu, keterikatan masa lalu dan kecemasan akan masa depan. Nawapol sedikit menyentil hal ini pada karakter sang ibu dan hubungannya dengan Piano pada rumah Jean dan Jay. Figur ayah mereka disini erat kaitannya dengan piano tersebut yang dijelaskan melalui foto pesta ulang tahun Jean pada masa lalu.

Masa lalu sang ayah lekat dengan penokohan sang Ibu yang menolak keras membuang piano tersebut karena tidak mau menghapus sejarah sang suami dari hidupnya. Berbeda dengan tekad Jean dan Jay yang sepakat untuk melupakan sang ayah. Hal tersebut sering menjadi pemicu pertikaian dengan sang ibu yang berujung menangis histeris menolak menjual piano. Pada adegan ini, Nawapol dengan handal menghadirkan dilema bagaimana sikap jahat ayahnya dapat menghancurkan keharmonisan dalam keluarga, terutama kepada sang Ibu yang harus menerima rasa pedih. 

Saat rumah sudah mulai kosong karena barang dijual kepada kolektor barang antik, tiba-tiba suatu malam Jean memutuskan menelepon ayahnya yang sudah lama meninggalkannya sejak kecil. Jean yang awalnya biasa saja mulai menangis tersedu-sedu akibat sang ayah yang sudah tidak mengenali suaranya lagi menandakan bahwa Jean juga belum bisa melepaskan sang ayah yang mendadak hilang selama masa pertumbuhannya. 

Kegiatan berbenah bisa menjadi proses yang tidak mudah, selain membutuhkan tenaga fisik juga membutuhkan mental yang kuat. Sebab barang-barang bekas berisi kenangan dari masa lalu dan pernah menjadi bagian pada suatu fase hidup. Dengan tempo film yang sangat lambat dan divisualisasikan serealistis mungkin, Nawapol mampu membawakan pesan mendalam terkait bagaimana efek berbenah barang rongsokan kepada seorang individu. Tidak hanya itu, dengan hati-hati ia mengembangkan karakter Jean sebagai penggerak utama plot film. Pada awalnya audiens bisa merasa benci karena karakter Jean yang egois dan berhati dingin. Namun lambat laun kita bisa ikut berempati dengan dirinya melalui latar belakang cerita dan mendukung sikap yang dilakukan agar bisa terus move on dari jeratan masa lalu untuk fokus menata masa depan. 

Happy Old Year memberikan kita pesan bahwa masa lalu dan kenangannya bak pisau bermata dua. Masa lalu menjadi bagian penting dari hidup karena itu yang membentuk jati diri hingga saat ini apa adanya, namun kita harus tahu bagaimana melepaskannya dengan lapang dada dan melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang darinya. Fase ini sejatinya merupakan bagian dari hidup seluruh manusia, dan sangat normal jika membutuhkan proses yang panjang dalam menghadapinya.

Editor: Amanda Amelia 

526 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *