Rektor UII Tolak Revisi UU Minerba: Kampus Bukan Tempat Bisnis Tambang
Ramainya wacana mengenai perizinan pengelolaan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang melibatkan perguruan tinggi dalam perubahan keempat RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi perdebatan hangat. Bagaimana pendapat akademisi kampus UII? Apakah mereka akan menerima dengan senang hati atau malah menolak mentah-mentah?
Dalam beberapa waktu terakhir, wacana pemberian izin bagi perguruan tinggi untuk mengelola tambang telah menuai kontroversi di berbagai kalangan. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang peran dan integritas kampus sebagai pusat pendidikan dan penelitian.
Perguruan tinggi sejatinya adalah institusi akademik yang bertujuan untuk mencetak generasi intelektual, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa melalui riset dan inovasi. Namun, dengan adanya izin pengelolaan tambang, muncul kekhawatiran bahwa kampus akan terdistraksi dari tugas utamanya dan lebih condong pada kepentingan bisnis.
Kritik pun bermunculan dari akademisi, aktivis pendidikan, dan pemerhati lingkungan. Mereka menilai bahwa dunia akademik seharusnya berfokus pada pengembangan sumber daya manusia, bukan sumber daya alam. Selain itu, kekhawatiran akan benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang juga menjadi sorotan, mengingat aktivitas pertambangan sering kali dikaitkan dengan eksploitasi lingkungan serta praktik bisnis yang tidak selalu transparan.
Sebaliknya, pihak yang mendukung kebijakan ini berpendapat bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang dapat membuka peluang riset, inovasi teknologi, serta memberikan sumber pendanaan tambahan bagi kampus. Namun, tetap muncul pertanyaan: apakah ini sesuai dengan esensi keberadaan perguruan tinggi?
Dengan berbagai dinamika yang terjadi, isu ini menjadi perdebatan yang perlu dikaji lebih dalam. Apakah dengan mengizinkan perguruan tinggi mengelola tambang, kita masih bisa menjaga integritas dan idealisme akademik ataukah ini justru menjadi langkah mundur yang mengaburkan batas antara pendidikan dan bisnis.
Rektor tercinta Universitas Islam Indonesia bapak Fathul Wahid yang juga ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V DIY, memberikan pernyataan mewakili UII, menolak untuk mengelola pertambangan (25/1) dengan beberapa alasan.
Menurutnya, pengelolaan tambang memerlukan investasi yang cukup besar dan ia mempertanyakan sumber dana yang akan digunakan oleh kampus untuk hal tersebut. Sehingga menurut Fathul, jika IUP (Izin Usaha Pertambangan) diberikan kepada kampus sebagai solusi untuk mendapatkan dana atau mengatasi pembiayaan tinggi di perguruan tinggi tidak masuk akal.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Bapak Fathul Wahid juga mempertanyakan untuk memeriksa kampus-kampus besar yang memiliki banyak usaha “Coba lihat, apakah sudah ada penurunan UKT di kampus yang punya banyak usaha? Kalau ada, berarti saya yang salah,” ujar bapak Fathul.
Beliau mengkhawatirkan bahwa bukannya mengurangi biaya tinggi di universitas, justru akan menambah kekayaan para elit dan pemilik kampus.
“Jika memang pemerintah ingin membantu kampus dalam pendanaan, masih banyak cara lain yang bisa dipilih, termasuk dengan meniadakan pajak lembaga dan mempermudah kampus membuka usaha lain yang bersih,” sambung bapak Fathul
Beliau juga menanyakan fungsi perguruan tinggi sebenarnya, “Kalau saya ditanya, UII ditanya, jawabannya termasuk yang tidak setuju, karena kampus wilayahnya tidak di situ,” ujar bapak Fathul
Integritas akademik perguruan tinggi akan dipertaruhkan jika diikutsertakan dalam pengelolaan tambang. Kampus (atau perguruan tinggi, salah satu aja) sebaiknya tetap fokus pada pendidikan, tanpa terlibat langsung dalam bisnis tambang.
Konflik Peran Perguruan Tinggi
Dalam hal ini, perguruan tinggi tentunya memiliki peranannya masing-masing apalagi Integritas akademik perguruan tinggi akan dipertaruhkan jika diikutsertakan dalam pengelolaan tambang.
“Hal ini dapat disebabkan karena, Industri ekstraktif sudah terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan sebagaimana aktivitas pertambangan yang juga sering menyebabkan konflik, penggusuran, dan dampak negatif pada masyarakat lokal. Adanya keikutsertaan perguruan tinggi dalam mengelola tambang, kampus menjadi antisains. Hal ini karena kampus yang seharusnya menjadi landasan pendidikan di perguruan tinggi sebagai lembaga yang mendalami dan mengajarkan ilmu pengetahuan untuk melindungi dan memelihara lingkungan, justru mendukung industri yang merusaknya. Terkait hal tersebut, dikhawatirkan kampus tidak objektif lagi dalam menghadapi isu kerusakan lingkungan,” Ujar Bapak Fathul selaku Rektor Universitas Islam Indonesia.
Selain itu perguruan tinggi termasuk mahasiswa di dalamnya akan menjadi penonton bisu apabila IUP ini dianggap sebagai hadiah dari pemerintah. Kampus yang seharusnya sebagai rumah intelektual akan semakin teredam suaranya ketika terjadi ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah yang utamanya menguasai pertambangan ini.
Selanjutnya keikutsertaan dalam pengelolaan tambang akan merusak marwah perguruan tinggi yang kemudian akan terlena dari misi utamanya sebagai lembaga pendidikan. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Fathul bahwa orang Jawa menyebutnya sebagai ‘melik nggendong lali’. Keinginan untuk menggapai sesuatu yang lain dapat melupakan dari misi awalnya. Kampus harus fokus menghasilkan karya akademik yang bermanfaat, mencetak generasi pemikir kritis dan agen perubahan, bukan justru terjebak dalam korporatisasi dan menjadi entitas bisnis semata.
Bapak Fathul juga menambahkan logika kampus yang sejatinya dijalankan dengan prinsip nirlaba berpotensi dirusak dengan pola pikir bisnis, mengejar profit sebesar-besarnya dengan godaan pengabaian etika. Termasuk, tidak mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Melibatkan diri dalam industri kontroversial jelas akan mencoreng reputasi kampus yang selama ini dibangun.
Kesimpulan
Dalam RUU tentang perubahan keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009, Bapak Fathul dan UII bersikukuh meminta pemerintah dan DPR agar tidak mengikutsertakan kampus ke dalam wacana pengelolaan tambang ini.
“Kalau negara ini percaya bahwa kampus punya posisi strategis untuk peradaban Indonesia ke depan, jangan tarik kampus ke gagasan yang dapat mengalihkan kampus dari misi mulianya. Lupakan saja gagasan pemberian izin pertambangan ke kampus yang membocorkan energi dan kehebohan yang tidak perlu. Hapus frasa ‘perguruan tinggi’ dari draf undang-undang,” pungkasnya.
Narasi: Fayyaza Aquila Regina/Yohana
Ilustrasi: Rakryan Narendra Krisna Murti