Berita Ekonomi

Optimalkan Cukai Negara, Pemerintah Larang Jual Rokok Batangan

Foto: Fauzan Nabongkalon

Narasi: Retma Ika dan Haqqi Ilvan*

Bacaekon – Rokok, siapa yang tidak mengenal benda satu ini? Sepertinya semua orang hampir mengenal benda dengan bahan dasar tembakau yang biasanya dihisap dan dibakar ujungnya. Rokok merupakan pabrik kimia berbahaya yang mengandung zat adiktif yang mengakibatkan ketagihan. Dengan kata lain, rokok termasuk bagian  dari NAPZA ( Narkotika , Psikotropika, Alkohol, dan Zat Adiktif).

Dilansir dari situs lifestylebisnis.com  yang mengacu pada data Riset Kesehatan Dasar, jumlah perokok di Indonesia semakin meningkat, terutama pada populasi usia 10-18 tahun. Selain itu, Kementerian Kesehatan RI juga menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di dunia. Hal ini berdampak negatif pada kesehatan masyarakat, perekonomian, serta masa depan anak muda bangsa. 

Dengan adanya larangan menjual rokok secara batangan, diharapkan akan mengurangi jumlah konsumsi rokok, terutama pada kalangan usia <18 tahun. Mengapa demikian? Mereka yang berusia <18 tahun rata-rata masih seorang pelajar dimana mereka hanya bisa membeli rokok batangan atau ecer. Oleh karena itu, ketika ada larangan ini tentu mereka akan kesulitan mendapatkan rokok.

Di era sekarang kebiasan merokok bukan lagi menjadi masalah pada orang dewasa, tetapi juga terjadi secara marak pada kalangan anak remaja. Para remaja yang awalnya hanya penasaran coba-coba akhirnya ketagihan akan rasa yang diberikan oleh rokok. Akhirnya jalan pintas agar mereka bisa merokok lagi yaitu dengan menyisihkan uang saku mereka untuk membeli rokok batangan. Tidak sulit bagi mereka untuk mendapatkan rokok karena harga rokok batangan yang cenderung murah.

Berbagai kebijakan telah dilakukan pemerintah untuk menekan tingkat konsumsi rokok. Salah satunya dengan menaikkan bea cukai sehingga harga rokok akan mengalami kenaikan. Namun, hal tersebut tidak membuat masyarakat jera, angka konsumsi rokok justru meningkat seiring dengan pertumbuhan masyarakat. Data Badan Pusat Statistik pada 2021 menunjukkan bahwa dalam keluarga, rokok menjadi prioritas belanja kedua setelah nasi. Riset yang berjudul “Perilaku Merokok Selama Pandemi Covid-19 dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Keluarga” menunjukkan bahwa rokok menjadi pengeluaran terbesar suami dalam keluarga. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Irfani, seorang peneliti PJKS-UI, “Hampir 50 persen responden juga merasa bahwa, pengeluaran suami untuk membeli rokok telah menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran rumah tangga untuk keperluan yang lain,” ucapnya dalam siaran pers.

Konsumsi rokok terus mengalami kenaikan terkhusus konsumen dari kalangan remaja. Data statistik 2021 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi rokok pada anak usia <15 tahun mengalami kenaikan sebesar 0,27%. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengusulkan pelarangan penjualan rokok secara batangan. Hal ini dicanangkan untuk dapat menekan konsumsi rokok pada kalangan remaja. 

Dilansir dari CNN Indonesia, 13 April 2022, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menilai larangan penjualan rokok ketengan atau batangan dinilai perlu guna menekan konsumsi rokok di Indonesia. Selain itu, Deputi Bidang pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat  adiktif BPOM menilai tarif cukai akan bisa menekan rokok selain larangan penjualan rokok batangan.

Dikutip dari Kompas.com bahwasanya dengan terbitnya Keputusan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris, pemerintah resmi mulai menaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) per 1 Januari 2022. Dengan adanya kenaikan tarif cukai hasil tembakau sebesar 12 persen akan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak dan akan mengurangi konsumsi rokok di Indonesia.

Terkait dengan wacana yang diusulkan oleh BPOM,  sejumlah warganet ikut mengomentari kebijakan tersebut melalui unggahan akun Twitter masing-masing. “Tentang ini harusnya BPOM paham, kalau sampai tidak paham menunjukan orang-orang BPOM kurang belajar tentang regulasi pertembakauan dan hasil olahannya berupa rokok. Andaikan BPOM sudah paham, tentunya usulan larangan menjual rokok batangan adalah usulan yang tak terdasar. Sebaliknya, jika memang tidak mengerti regulasi pertembakauan dan olahanya, usulan BPOM sangat menyesatkan” cuitan dalam akun @boleh_meroko

Melalui cuitan yang ditulis dalam akun @choianwar11, “Jika niatnya mengurangi konsumen anak-anak, sah saja. Cuma ingat, kita tinggal di negara produsen tembakau dengan bermacam- macam industri rokok di dalamnya mulai home industry hingga perusahaan besar. Regulasi hanya memainkan aturan cukai, konsumen, produsen, iklan.”

Dengan adanya rencana peraturan ini tentu mengundang komentar pro dan kontra di masyarakat. Salah satu masyarakat yang kurang setuju adalah Ahmad Raffi, ”Kalo saya kurang setuju dengan larangan ini, karena kalo saya misal beli satu bungkus untuk beberapa hari kurang maka saya akan tambah dengan beli secara batangan,” ucapnya.

Adanya peraturan ini juga akan berimbas pada pendapatan toko-toko yang biasa menjual rokok secara batangan. Hal ini karena untung yang didapat dari penjualan rokok secara batangan lebih besar daripada yang dijual per bungkus. Kondisi ini juga dirasakan oleh  Sri Rahayu, seorang penjual rokok batangan, “Kalau saya sebagai pedagang enggak setuju soalnya lebih banyak orang yang beli secara batangan ketimbang per bungkus karena mahal. Kalau misal ada peraturan itu ya nanti ga ada yang beli, untungnya juga lebih besar jika menjual rokok secara batangan,” ujarnya.

Berbeda halnya dengan Raffi dan Sri Rahayu, Isal seorang karyawan swasta memilih setuju pada rencana peraturan tersebut, “Saya setuju adanya peraturan tersebut dengan alasan agar anak sekolah yang merokok menjadi berkurang, karena mereka harus beli per bungkus jadi pasti kesulitan. Selain itu dengan adanya kebijakan ini dapat mengoptimalkan bea cukai yang dikenakan pada rokok,” ujarnya.

Sebagai informasi, merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, menyebutkan bahwa rata-rata pengeluaran perkapita masyarakat untuk rokok menempati urutan nomor satu. Bahkan, pengeluaran untuk rokok bisa menyalip pengeluaran terhadap beras sebagai kebutuhan pokok masyarakat. Tak hanya itu, sejumlah tokoh seperti Maya Agustina pada muatan laman www.hops.id merasakan keprihatinannya karena konsumsi masyarakat pada jenis rokok ketengan sangat besar terutama pada kelompok masyarakat yang tergolong rentan.

Adapun cara paling efektif yang bisa dilakukan untuk mengurangi tingkat konsumsi rokok yaitu dengan menaikkan bea cukainya, sehingga harga rokok menjadi naik dan masyarakat akan berpikir 2 kali untuk membelinya. Pemerintah juga bisa melakukan sosialisasi terhadap para remaja akan bahayanya kandungan dalam rokok. Sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat konsumsi rokok pada remaja.

Reporter: Retma dan Haqqi

Editor: Mujahid Hamzah K.

*Penulis adalah magang LPM Ekonomika

2376 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *