Menguji Jawaban Debat Capres Menyikapi Permasalahan Mengenai Isu Lingkungan
Ilustrasi: Hanan Afif Wirawan
Narasi: Ghifar Alif Utama
Bacaekon – Polusi udara menjadi salah satu topik yang diangkat dalam debat capres pada Selasa (12/12), debat ini cukup masif baik di kalangan masyarakat umum maupun media sosial. Agar tidak menjadi isu yang liar dan memancing kericuhan di publik, maka kita harus melakukan analisis mendalam terkait permasalahan yang sedang hangat dibicarakan tersebut. Menurut data yang dilansir dari World Health Organization (WHO), setiap tahun 7 juta orang di dunia meninggal akibat polusi udara.
Adapun lebih lanjut, secara keseluruhan WHO juga melaporkan lebih dari 90 persen manusia di Bumi menghirup udara dengan tingkat polutan tinggi. Organisasi yang menaungi urusan kesehatan internasional ini juga mengkhawatirkan jumlah kematian yang lebih banyak yang dapat menyebabkan penyakit stroke maupun kanker paru – paru stadium akhir.
Di Indonesia sendiri, menurut data yang dihimpun dari Air Quality Life Index (AQLI) Rata – rata usia harapan hidup orang Indonesia diperkirakan berkurang hingga sebanyak 2,5 tahun akibat polusi yang terjadi. Lebih lanjut, jumlah angka kematian akibat polusi udara lebih dari 60.000 kasus per tahun, sehingga hal ini menurut para ahli sudah dikategorikan sebagai salah satu hal yang mengkhawatirkan bagi keselamatan masyarakat sendiri khususnya.
Adapun penyumbang terbesar polusi udara di Indonesia disebabkan oleh penggunaan batu bara, konsumsi bahan bakar bensin dan solar. Saat ini upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengurangi polusi udara lebih banyak berfokus pada sektor transportasi sebagai salah satu penyumbang terbesar penyebab polusi udara di wilayah urban. Sedangkan di wilayah rural, pemerintah memberlakukan moratorium terhadap pembukaan lahan gambut baru dan mendirikan badan restorasi gambut (BRG).
Polusi udara merupakan salah satu penyebab menurunnya kualitas hidup manusia. Indonesia memiliki aturan mengenai pengendalian emisi mulai dari UU No 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan PP No 41/1999 tentang pengendalian polusi udara akan tetapi hampir semua aturan tersebut tidak berjalan dengan baik dan selama 22 tahun tidak pernah direvisi dan dievaluasi. Pada dasarnya pemerintah sadar akan dampak yang ditimbulkan dari polusi udara akan tetapi belum ada upaya nyata yang dilakukan untuk mengurangi polusi udara terutama yang berasal dari emisi kendaraan bermotor. Kementerian lingkungan hidup mentargertan pada tahun 2019 akan dilakukan pemasangan pemantauan kualitas udara pada 13 kota dan 45 kota pada tahun 2020 akan tetapi pemerintah belum melakukan upaya seperti uji emisi dan razia emisi untuk kendaraan bermotor sebagai salah satu penyebab polusi udara.
Sebagaimana yang kita tahu bersama pada debat perdana beberapa waktu yang lalu yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan bertajuk tema yang diusung terkait “Hukum, HAM, Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, dan Penguatan Pada Demokrasi”. Namun, pada pertengahan jalannya debat isu polusi udara yang memiliki anggaran yang cukup fantastis yaitu hingga mencapai 80 triliun bagi kota Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta khususnya. Hal ini menjadi permasalahan yang menjadi topik dalam sesi tanya jawab antar kandidat yang menunjukkan persoalan dan permasalahan hingga urgensi penerapan kebijakan yang dinilai publik justru hanya menjadi pengalihan.
Salah satu kebijakan ini terkait upaya pemerintah dalam membatasi mobilitas masyarakat yang masih menggunakan bahan bakar fosil agar beralih ke sumber energi terbarukan dan bersih, seperti penggunaan sumber energi listrik dan bahan bakar jenis lain. Disisi lain kebijakan terkait tilang emisi justru dinilai sebagai kebijakan yang terkesan tarik ulur karena diberlakukan sebagai gertakan agar secepat mungkin masyarakat beralih pada kendaraan berbahan bakar listrik yang dinilai lebih efisien, efektif, dan ramah lingkungan. Sayangnya justru permasalahan polusi hadir karena banyaknya pabrik di sekitar DKI Jakarta yang masih beroperasi dengan bahan bakar fosil ataupun emisi asap yang langsung dibuang ke udara. Hal ini justru lebih dinilai berbahaya karena asap tersebut tidak melalui tahap pengolahan.
Lebih lanjut, permasalahan mengenai angin ini dimulai ketika pasangan calon presiden no urut dua Prabowo Subianto, melemparkan pertanyaan terkait jumlah anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sangat tinggi saat kandidat calon presiden no urut satu menjabat sebagai Gubernur DKI, namun gagal mengatasi polusi udara yang terjadi. “Bagaimana anggaran sebesar Rp 80 Triliun, Pak Anies, sebagai gubernur tidak mampu berbuat sesuatu hal yang memiliki dampak dalam pengurangan polusi,” tutur Prabowo.
Dengan nada bicara yang cukup santai, Anies menjawab pertanyaan “Sepertinya pertanyaan bapak Prabowo kurang akurat, seperti saat kondisi pandemi covid-19 lalu di Jakarta menjadi memiliki angka tertinggi karena dipengaruhi pemeriksaan yang dilakukan. Sebaliknya, banyak daerah yang seakan-akan menjadi memiliki kasus catatan covid-19 yang rendah karena tes yang minim.”
Polusi udara Jakarta dinilai terpengaruh oleh arah angin yang senantiasa berubah-ubah yang mengakibatkan polusi yang menjadi cukup tinggi di kawasan ibukota. “Di Jakarta kami telah memasang alat yang berfungsi memantau polusi udara. Jika masalah polusi udara yang terjadi bersumber dari kawasan dalam kota Jakarta sendiri sudah pasti baik hari ini, esok, minggu depan dan seterusnya semakin lama akan konsisten semakin kotor.” tuturnya. Dengan demikian, bahwa upaya pemerintah DKI Jakarta yang telah berupaya melakukan upaya mitigasi seperti halnya dalam pernyataan Bapak Anies Baswedan saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta di atas memang mungkin sedikit banyak mengurangi. Namun, apakah lantas polusi di Jakarta menjadi hilang? Tentu jawabannya tidak semudah itu hilang jika sumbernya masih tetap digunakan dan hanya dilakukan mitigasi yang bersifat sementara baik teguran atau pembatasan bukan penghilangan atau cut off terhadap sumber daya yang menghasilkan polusi.
Dalam kesempatan selanjutnya, beliau juga mengemukakan argumen terkait permasalahan polusi yang sedikit banyak pasti mengalami penurunan. Hal ini disebabkan suksesnya upaya yang dilakukan dalam mengendalikan polusi di Jakarta sendiri khususnya. “Namun apakah ini terus berlanjut? Dapat dilihat dengan meningkatnya intensitas hujan, pengendalian emisi dan beberapa langkah yang dilakukan ada hari dimana polusi menjadi menurun dan kualitas menjadi lebih baik. Ada masa Minggu pagi di kawasan Jagakarsa sangat kotor, apa yang terjadi? Polusi udara tak punya KTP, angin tentu saja tak ber-KTP,” tuturnya.
Jadi dengan melihat dari pernyataan diatas, dapat diasumsikan bahwa polusi selain dilakukan pengendalian berupa aturan pembatasan pengeluaran emisi melalui kendaraan berbahan bakar fosil yaitu salah satunya berupa Uji Emisi yang diberlakukan setelah sebelumnya dengan kebijakan kebijakan lain yang telah dilakukan di samping mengendalikan polusi dan juga kemacetan.
Sayangnya kebijakan yang dinilai cukup kontroversial dan terkesan dipaksakan yaitu Tilang Uji Emisi kendaraan. Kebijakan ini bertujuan mengendalikan polusi kendaraan berbahan bakar fosil (internal combustion engine), ini dinilai sebagai kebijakan yang tidak ada dasar yang jelas. Bagaimana tidak, dengan berkaca pada aturan uji emisi yang terkesan “paksaan” karena bagi sebagian pihak dipaksa beralih ke kendaraan berbahan bakar terbarukan. Namun, perlu dicatat dengan baik, dengan mayoritas sumber energi yang dimiliki negara Indonesia bersumber dari sumber energi Fosil (batu bara, gas alam, bahan bakar minyak, dan sejenisnya) tentunya hal ini menuai perdebatan.
Apakah dengan penerapan dan aturan yang dibuat berupa pemberian insentif, salah satunya melalui pemberian PPN 0%, bebas ganjil genap, bahkan masuk ke lokasi lokasi yang kendaraan fosil tidak bisa digunakan seperti kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) salah satunya. Dimana setelah dilakukan revitalisasi dan perpindahan kepemilikan kembali ke pemerintah menjadi terbatas dalam hal akses kendaraan bermotor berbahan bakar fossil. Hal ini tentu bisa menjadi boomerang selain baterai sebagai penyimpan dana memiliki usia pakai dan apakah indonesia akan siap untuk menerima limbah tambahan yang sulit diuraikan atau justru sebagai peluang? Tentu hanya waktu dan kompetensi anak bangsa yang mampu betul betul menjawab permasalahan ini.
Jadi, tidak sepenuhnya pertanyaan bapak Prabowo kepada Anies Baswedan yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta salah, mengingat dana penanganan polusi mencapai angka 80 Triliun tentu bukan dana yang sedikit. Sedangkan, concern permasalahan terkait pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pabrik-pabrik di kawasan berikat maupun limbah yang dibuang oleh masyarakat belum sepenuhnya teratasi. Perlunya edukasi dan pemahaman dengan baik kepada seluruh lapisan elemen masyarakat bahwa urgensi polusi sudah di taraf membahayakan ini perlu segera dilakukan tindak lanjut. Rumah tangga memiliki perananan penting karena seringkali acuh terhadap kondisi sosial dan lingkungan disekitarnya. Apalagi di kawasan padat penduduk seperti DKI Jakarta yang mayoritas merupakan warga pendatang yang melakukan urbanisasi demi memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Editor: Nur’Alif Nafilah