Menganju Sendu
Foto : Ikrar
Oleh : Ikrar Aruming Wilujeng
Aku meredup, tak ubahnya sebatang jiwa yang sia-sia.
Semakin jauh dari dekapan-Mu, semakin larut dalam pelukannya.
Begitu analoginya, dunia yang Kau berikan terlampau seru dengan segala kesaruannya. Hanya menunggu waktu untuk terus merangkak mendekat, menghujami aku dengan kesia-siaan, serta penyesalan yang tak terperikan.
Semua terpecah-pecah menjadi kepingan yang merugi, tercerai-berai menjadi susunan elegi yang kunyanyikan saban pagi.
Pagiku mengabur menjadi wahana eksploitasi kisah sedih. Semua kuseduh persis seperti mimpi burukku malam tadi. Segalanya tak ubahnya hantu-hantu yang dibuat-buat oleh ilusiku sendiri.
Hari-hari kusungging tanganku menikmati secangkir sepi. Namun hanya pada malam hari, ketika aku tau aku telah terperosok sejauh ini, hingga cahaya-Mu tak dapat menghangatkan dan mengamankanku lagi.
Sampai aku paham, aku hanyalah seorang budak ambisi, terkapar dipasung oleh visi misi, acap kali gagal membedakan hitam dan putih.
Sampai aku meringis, ternyata bukan Kau yang pergi, hanya saja aku yang menepi.
Akhirnya aku terjebak di lingkaran yang tak hentinya memperkosa akal, juga mulutku yang tak hentinya melontarkan umpatan. Jadi, maafkan aku yang hanya perawan di bagian tertentu saja.
Tetapi meski begitu, aku berani bertaruh atas apa-apa yang gagal kupertahankan. Setidaknya dosa masa lalu telah kutuntaskan. Walaupun setelahnya aku hanya bisa menganju sendu, membisu diapit ambigu, lalu melebur dimadu ciu. Hingga semoga kelak bisa dengan damai kembali kepelukanMu.
Tuhan begitu baik menyisakan tempat bagi manusia sepertiku yang kerap kali berkhianat. Tuman menggeluti segala yang Ia ancam dengan neraka. Ketika manusia tiada menyisakan kelapangan dadanya, Tuhan masih memberikan banyak sudut untuk bersujud.
Yogyakarta, di pagi hari ku yang belum tertidur.
Editor : azizah