Buku Pustaka Rekomendasi

Membaca Kembali ‘Ramalan’ Orwell

(sumber foto : endahanomsari.wordpress.com)

Oleh : Ridho Haga Pratama

Judul                     : 1984  (nineteen eighty-four)

Jenis Buku           : Fiksi

Penulis                 : George Orwell

Penerjemah       : Landung Simatupang

Penerbit              : Bentang Budaya

Tahun Terbit      : 2014

Tebal                     : 436 halaman

Bacaekon.com-Rekomendasi. Beberapa mungkin akan memiliki keraguan, untuk apa memasukkan buku fiksi yang menceritakan kekuasaan tahun 1984 di jajaran rak buku pada tahun 2015 ini? Novel fiksi berjudul 1984 ini menceritakan tahun lampau, sehingga mungkin apa yang akan dibaca dari buku ini dikiranya kurang lebih akan sama dengan apa yang berusaha digambarkan oleh buku pelajaran sejarah tentang pemerintahan otoriter seperti Hitler dan Jerman, atau Rusia dan Stalin.

Pernyataan tersebut tidak salah. Namun tidak sepenuhnya benar juga. Novel yang ditulis oleh George Orwell ini meski berjudul 1984 dan memang berlatar pada tahun yang sama, sesungguhnya adalah novel yang ditulis pada tahun 1949, 35 tahun sebelum judul novelnya. Sehingga jika berangkat dari fakta tersebut, sesungguhnya ketimbang menyebutnya sebagai novel sejarah, novel ini mungkin lebih tepat disebut sebagai novel ‘ramalan’ atau ‘prediksi’. Ramalan Orwell tentang masa depan 35 tahun sejak terbitnya novel ini.

Novel ini bercerita tentang seorang karakter bernama Winston Smith yang hidup di sebuah negara adikuasa bernama Oceania. Oceania ini adalah negara yang memegang ideologi yang disebut Sosing. Di glosarium novel ini akan diketahui bahwa Sosing adalah kependekan dari Sosialisme Inggris.

Di negeri ini, setiap kebebasan diatur oleh Partai Inti dan pimpinannya, Bung Besar, yang bahkan sosoknya tak pernah tampil sekalipun dalam novel ini. Emosi apapun seperti senang, sedih, suka, benci, diatur oleh partai demi menjaga keberlangsungan negara.

Kemudian untuk memastikan bahwa pengaturan ini berjalan tanpa cela, rakyat diawasi terus menerus oleh sosok yang bahkan tak pernah muncul. Mereka diawasi oleh poster Bung Besar yang menatap tajam ke lurus dengan kata yang tak pernah terucap, “awas Bung Besar melihat saudara.” Juga oleh teleskrin, semacam kamera pengawas yang dapat mendengar sekaligus berbicara seperti megafon dan menampilkan gambar seperti teve yang tersebar di mana-mana, tidak terkecuali tempat tinggal Winston. Apapun yang menunjukkan ekspresi meragukan dan mempertanyakan pandangan Partai Inti harus siap bertemu Polisi Pikiran. “Jangan bertanya, ikuti saja,” mungkin itu yang ingin diutarakan aturan ini.

Di negeri ini, Polisi Patroli disegani, tapi tidak mengancam. Yang mematikan justru adalah Polisi Pikiran. Mereka mengawasi setiap gerak-gerik mencurigakan siapapun. Tak ada yang tahu cara kerjanya. Mereka tak terlihat. Satu-satunya cara mengetahui cara kerja Polisi ini adalah dengan tertangkap. Namun sayang tak ada yang dapat menceritakan ini, karena sekali tertangkap berarti musnah. Tidak hanya secara fisik, tapi juga dari sejarah dan segala dokumentasi apapun yang menyatakan bahwa penjahat pikiran ini pernah ada.

Slogan yang berkata, “yang mengendalikan saat ini, akan mengendalikan masa depan” adalah benar. Namun untuk negara ini ia diperlengkap dengan tambahan, “yang menguasai masa lalu, menguasai masa kini.” Winston yang bekerja di Kementerian Kebenaran bertugas merevisi setiap koran, catatan, dan dokumentasi apapun agar sesuai dengan kebenaran Partai inti. Partai tak pernah salah. Kebenaran adalah apa yang dikatakan partai sebagai benar. Bukti catatan sejarah harus mendukung apa yang dikatakan Partai, sehingga kebenaran di luar itu hanyalah ilusi, mimpi, hanya dalam ingatan dan pikiran. Ia tak pernah ada.

Di tengah situasi seperti ini, Winston hidup. Ia membenci situasi ini, Ia benci Partai Inti. Ia ingin melawan. Ia ingin menggulingkan Bung Besar. Namun apa daya, hanya Winston sendiri yang kritis di tengah sindrom pembodohan Partai yang sistemik. Ia tak punya rekan yang dapat diajak bicara. Ia menjadi satu-satunya berbeda, karena yang normal di sana adalah pemikiran partai. Menjadi kritis sama artinya tak normal, gila. Jika mau menjadi normal, satu-satunya harapannya adalah menemukan orang gila lainnya, Goldstein dan para pemberontaknya. Di mana? Ia tak tahu. Meski tahu, di tengah kepungan teleskrin dan polisi pikiran, apa yang bisa ia perbuat. Belum-belum menemukan, baru mencari pun ia dapat dengan mudah ditemukan polisi pikiran dan musnah.

Bersama Winston, pembaca akan ikut berjalan di Oceania. Berjalan dengan rasa takut, segan dengan segala keterbatasan mengekspresikan keinginan. Takut kalau-kalau salah berbuat dan mendobrak tatanan. Konsekuensi dari kesalahan adalah musnah. Winston tidak berada dalam novel horror, tapi dapat dipastikan suasana di tiap lembar novelnya adalah mencekam.

1984 mungkin merupakan novel yang sedikit berlebihan dalam menggambarkan masa depan. Karena toh apa yang ia prediksikan belum terbukti hingga saat ini. Jikapun ada, ia tak separah yang digambarkan 1984 versi novel. Prediksi tetaplah prediksi. Orwell bukan seorang peramal dan kesalahannya dalam memilih judul membuktikan hal tersebut. Namun novel yang kental dengan kritik terhadap komunisme ini bukan berarti tak layak di rak buku saat ini. Memangnya siapa yang bisa memastikan bahwa apa yang diramalkan Orwell tidak terjadi? Siapa yang bisa memastikan bahwa tahun terjadinya ramalan Orwell adalah satu-satunya kesalahan dalam prediksinya?

4543 Total Views 2 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *