Ekspresi

LARA

Narasi: Nur’ Alif Nafilah

Ilustrasi: Sandrina Lindri F.

Lara tak mengerti sejauh mana kakinya akan membawa tubuh kecil itu melangkah. Suasana langit seakan mengerti bagaimana hatinya saat itu. Jika sanggup mengatakan, mungkin ia berterimakasih pada hujan karena telah mewakili air matanya yang sudah tak mampu lagi berderai di pelupuk matanya. Semua kejadian menyakitkan yang menimpa hidupnya pun kembali berputar layaknya episode paling dramatis dari sebuah film. Cita-citanya pupus dan karir yang dijanjikan hangus. Mungkin, dia tidak akan merasa seperti ini jika dulu ia tidak bersikeras untuk melatih kemampuan melukisnya.

Lara sadar kemampuanya tidak sehebat sahabatnya Rina. Dia tidak bisa mengikuti latihan melukis seperti Rina karena biaya pelatihan yang terlalu mahal. Ia sempat berpikir untuk mendiskusikan keinginan nya ini dengan kedua orang tuanya. Namun, melihat keadaan orang tua yang harus menghidupi satu anak lain selain Lara. Dimana pada saat itu kakak nya lah yang sangat membutuhkan biaya besar untuk sekolahnya. Akhirnya dia mengurungkan keinginannya demi keluarga.

Kompetisi melukis antar sekolah dasar pun diumumkan. Kepala sekolah mengatakan bahwa kompetisi tersebut diadakan dua minggu lagi, Lara dan teman-temannya termasuk Rina ikut dengan rasa semangat dan antusias. “Lara, nanti ada seleksi dari pelatih terkenal loh di sana, aku ingin sekali menjadi muridnya,” Rina antusias. Dan mereka pun sangat berharap lolos dalam seleksi tersebut. 

Mereka mengikuti kompetisi dengan seluruh kemampuan yang mereka punya. Rina dengan bekal kursus nya dan Lara dengan kemampuan yang ia latih sendiri. Karena hal tersebut, kabar baik dan menggembirakan pun menghampiri Lara dan Rina. Lewat informasi dari guru wali mereka, beliau menyatakan bahwa Lara dan Rina lolos seleksi tim perwakilan kota. Jadwal dan segala peralatan yang harus dibawa pun turut di informasikan oleh sang guru.

Sesampainya di rumah Lara langsung memberitahu kedua orang tuanya dengan rasa gembira, kedua orang tua Lara turut gembira ketika anak bungsu nya itu mendapat pelatihan yang sangat diinginkan. Mereka menyadari bahwa kemampuan ekonomi mereka tidak bisa menunjang cita-cita Lara. Pelatihan berjalan dengan lancar, dan hari-hari berikutnya pun begitu. Hingga sampai pada kegiatan seleksi kedua yang menentukan enam orang sebagai tim yang menjadi perwakilan kota. Seleksi yang berlangsung selama dua hari itu pun selesai. Informasi tentang anggota terpilih masih dirahasiakan panitia kegiatan.

Hari esok pun tiba, datang seseorang yang familiar bagi Lara perlahan menuju ke arah rumah nya. Dan iya, dia adalah pelatih lukis terkenal itu yang datang dengan maksud meminta izin orang tua untuk menjadikan Lara sebagai anggota murid di kelasnya bersama murid yang lain. Lara hanya duduk mendengarkan tanpa paham apa maksud dari penjelasan pelatih itu. Dia hanya tahu bahwa dia akan masuk ke tim pilihan yang dilatih oleh pelatih tersebut.

Selembar kertas pun dikeluarkan oleh sang pelatih. Lara sedikit melirik pada judul surat tersebut. Surat persetujuan, itulah yang terbaca oleh Lara yang duduk terpisah dengan sang ibu yang menerima surat. Dengan segala keterbatasan pengetahuan, sang ibu akhirnya dengan senang hati menandatangani surat persetujuan itu sesuai penjelasan sang pelatih.

Saat berada di sekolah, Lara bertemu Rina, sontak Rina pun melemparkan tatapan sinis dan kesal pada Lara. Lara pun bertanya penasaran tetapi Rina hanya mendiamkan dia sampai bel pulang sekolah berbunyi. Dibalik rasa penasaran Lara, Rina menyimpan kekesalan karena ia mendapati kabar lewat BlackBerry Messenger Group Chat bahwa hanya Lara yang lolos menjadi murid pelatih terkenal tersebut. Mulai saat itu Rina membenci Lara.

Latihan pertama dimulai, Lara datang lebih awal agar tidak terlambat. Ia menyadari bahwa Rina tidak hadir di pelatihan. Lara pun akhirnya mengerti alasan sikap Rina yang berubah dan mulai menjauh dari nya. Hari-hari pelatihan pun dilalui Lara dengan perasaan bersalah terhadap temannya, karena dia tahu bahwa Rina sangat berambisi akan cita-cita nya. Hingga tiba pada hari dimana kisah kelam di hidup Lara dimulai.

Satu minggu berlalu, pelatihan lukis masih menjadi rutinitas Lara. Pelatihan kali ini ada yang aneh yaitu tidak ada satu anggota pun yang datang untuk berlatih lukis. Sontak Lara pun merasa merinding dan ketakutan. Dan benar saja hari menakutkan itu menghampiri Lara setelah satu minggu.

Di ruang kelas lukis, pelatih mengajak Lara berdiskusi tentang ide melukisnya dan memberitahu semua hal yang harus ia lakukan dan perbaiki. Lara pun mematuhi perintah dari pelatih tersebut dan menyiapkan peralatan lukis miliknya. “Sini, masuk sini! kita diskusi di dalam saja,” ujar pelatih dengan nada kesal menyuruh Lara untuk masuk ke ruang kerjanya. Lara pun hanya bisa mematuhi tanpa bisa berkutik dan merasa ketakutan.

Penjelasan tentang perkembangan pun dimulai, 5 menit berlalu sang guru pun berdiri mendekati Lara. Perlahan tangan dari pelatih mulai memegangi Lara sambil tetap menjelaskan. Lara pun berkeringat dingin, ketakutan, dan kebingungan dengan situasi yang dialaminya. Hanya Lara dan pelatih di ruangan sempit itu, tangan besar itu mulai melewati batas. Semakin melewati batas. Lara sangat amat ketakutan. Tak bisa teriak karena tekanan yang tercipta dari sang pelatih.

Lara membeku. Tangan besar yang dingin dan kotor pun memulai aksinya. Sungguh kacau hari itu, anak 10 tahun itu pun hanya bisa mengikuti alur yang mencekam dari sang pelatih. Dalam hati Lara berteriak ketakutan, dia bingung, dia marah karena pelatih itu terus melewati batasan nya. Detak jantung Lara berdegup kencang.

Tiba-tiba tangan besar itu menarik tubuh kecil Lara. Tubuh gemetar itu sudah berada dalam pelukan sang pelatih. “Lara, I Love You,” bisikan pelatih itu sontak membuat merinding sekujur tubuh kecil itu.”Liat sini Nak,” sang pelatih langsung menadahkan wajah Lara yang pucat ke hadapan wajah tua nya itu. “Buka matanya dong jangan merem,” nada memaksa itu seketika menambah suasana seram di ruangan itu.

Tak kunjung Lara membuka kedua matanya, sang pelatih langsung mengangkat tangan nya dan menunjuk sebuah telepon genggam miliknya. “Buka mata atau di video in?” nada kesal sang pelatih keluar dan mengancam Lara yang gemetar di dekapannya. Pikiran Lara seketika kosong setelah mendengar kalimat yang menyeramkan itu.

Lara tidak berdaya dan hanya mengangguk dengan memikirkan ancaman pelatihnya. Anak 10 tahun itu hanya bisa berpikir pendek dengan menyimpulkan bahwa ini adalah resiko yang dia harus lalui untuk menjadi pelukis handal, sering berkompetisi, dan mendapatkan uang agar bisa membantu finansial keluarga.

Bukan hanya perilaku tidak senonoh dari pelatih yang Lara terima tapi rundungan dari rekan kelas di pelatihan itu pun ikut Lara rasakan. Kuas yang selalu hilang, kursi yang disimpan di gudang, tali sepatu yang dilepas, tatapan sinis dan jijik, tempelan permen karet di sepatu, hingga kanvas yang dirobek secara tiba-tiba.

Selama dua minggu, itu lah yang diterima Lara di pelatihan. Anak 10 tahun itu tidak punya keberanian untuk melapor ke orang tuanya. Karena setiap ada kesempatan untuk bercerita, pikiran Lara selalu teringat ancaman dari sang pelatih di ruang sempit kala itu.

Lara yang kesal dengan dirinya sendiri mulai sering menangis. Dan terus bertanya pada dirinya. “Ayo Lara, kamu pasti bisa. Jika gagal mari kita coba lagi,” Lara menghadap ke cermin yang ada di depannya sambil berderai air mata. Menyemangati diri untuk tidak cepat menyerah dan memikirkan tujuannya.

Satu bulan, dua bulan, empat bulan, hingga enam bulan pun berlalu, Lara masih menerima sentuhan kotor yang semakin menjijikan di tubuhnya. Tak bisa balik mengancam dengan hukuman kepada sang pelatih, Lara pun hanya memejamkan mata dan terkadang meneteskan air mata yang tak dianggap serius oleh sang pelatih.

Hingga pada titik, tubuh, pikiran, dan hati Lara mulai lelah. Tidak ada teman atau seseorang yang menyadari keadaannya tanpa bertanya. Karena sungguh jika mereka penasaran dan memaksa Lara menceritakan apa yang dialaminya, dia akan sangat terluka dan semakin membenci dirinya sendiri.

Lara hilang tujuan. Dirinya mulai membenci apa yang menjadi tujuan hidupnya itu, dia mulai kehilangan arah dan merasa bahwa dirinya adalah sampah. Sepulang pelatihan, hari itu hujan turun dengan lembut seakan mendukung perasaan kacau Lara. Menambah suasana menyedihkan sekaligus menyebalkan di hidup anak SD tersebut.

Lara ketakutan. Dia takut mengecewakan orang tersayangnya yang sudah menjaganya dengan baik, tapi dirinya sendiri tidak pernah sekali pun berusaha untuk menjaga dirinya sendiri. Hingga hari esok tiba, Lara menghilang sepulang sekolah. Hari itu hujan lebat dan angin pun berhembus cukup kuat. Lara lari dari kenyataan hidupnya, dia hanya berpikir apa yang bisa anak 10 tahun ini lakukan agar semuanya berjalan dengan normal.

Dia menangis dalam balutan hujan. Pikirannya sedang kacau dan perasaan marah pada diri sendiri dan keadaan mulai mempengaruhi dirinya. Dia tidak melihat ke arah mana dia berjalan dan sesekali dia menunduk lalu meluruskan pandangannya yang kosong. Silau cahaya menyoroti tubuh kecilnya serta suara klakson yang memecahkan gendang telinga, seketika membuat ia sudah tidak merasakan rasa sakit atas penderitaan nya.  

Anak 10 tahun bernama Lara yang hanya ingin menghilang sementara untuk lari dari kenyataan hidupnya. Akhirnya, ia dan tujuannya pun menghilang untuk selamanya dalam balutan hujan deras yang berbahaya.

Editor: Salwa Nidaul Mufidah

 

542 Total Views 2 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *