Berita Ekonomi

Kenaikan Harga BBM yang Menimbulkan Perdebatan

Foto: Nadia Alya Nur F.

Narasi: Alifia Kusumaningtyas

Bacaekon – Alasan pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dianggap masih kurang jelas karena BBM dinaikkan pada saat kondisi harga minyak dunia turun. Kenaikan harga BBM bersubsidi yaitu pertalite dan solar, juga BBM non subsidi (pertamax) memunculkan banyak kekhawatiran dari masyarakat. Menaikkan harga BBM apalagi yang bersubsidi akan membuat nasib para masyarakat kecil yang sudah susah akan menjadi makin susah. 

Fakhi, selaku koordinator lapangan (korlap) dari KM UII (Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia) pada aksi kali ini mengatakan bahwa aksi mahasiswa yang dilakukan pada Senin (12/9) adalah aksi dalam menolak kenaikan harga BBM karena pemerintah tidak sesuai dalam membuat kebijakan menaikkan harga BBM. Hal itu dikarenakan pada tahun 2023 ke depan akan ada krisis ekonomi. Seharusnya pemerintah berpikir untuk lebih mengedepankan kondisi masyarakat dalam menghadapi krisis ekonomi tersebut. “Pemerintah dalam mengkoordinasi ataupun dalam membuat konsolidasi kebijakan tidak sesuai, bahwasannya kita disini melihat bahwa 2023 nanti akan terjadi krisis ekonomi. Dalam mempersiapkan semua itu kita balik lagi ke pemerintah yang harus membuat kebijakan yang kedepannya lebih baik untuk masyarakat Indonesia,” ujar Fakhi.

Kenaikan harga BBM bersubsidi ini tentunya akan langsung dirasakan oleh masyarakat kecil yang mencari nafkah dengan mengandalkan BBM. Contohnya saja seperti driver ojek online (ojol) dan sopir-sopir angkutan umum. “Masyarakat kecil seperti ojol ini mendapatkan hasil yang tidak seberapa, namun sekarang BBM malah naik, apalagi jika sepi orderan mau tidak mau harus menunggu hingga jam berapa dan memikirkan harus berapa pengeluaran bensin sehari,” ujar salah satu perwakilan driver ojol.

Subsidi BBM dan Subsidi BLT

Dalam lingkup subsidi dan non subsidi, kenaikan harga BBM berarti juga menaikkan BLT (Bantuan Langsung Tunai), tetapi dalam hal ini kenaikan BLT dinilai tidak sesuai dengan harga BBM yang dinaikkan. Harga BBM mengalami kenaikan 30% sementara bansos subsidi BLT berjumlah sebesar Rp.600.000 untuk 4 bulan. Fakhi mengungkapkan bahwa BLT yang diberikan tersebut kurang, seharusnya UMR dinaikkan. 

“Menurut kami kenaikan BLT kurang, karena di masyarakat di Indonesia, salah satunya di Jogja mendapatkan UMR yang sangat jauh dengan yang diluar Jogja. Seperti di Tangerang dengan kisaran UMR Rp. 4.500.000 – Rp. 5.000.000 sedangkan di Jogja hanya sekitar Rp. 1.800.000. Dari sini kita melihat adanya ketidakmerataan yang mana lagi-lagi kembali ke pemerintah bahwasannya menaikkan BLT harus mempunyai kebijakan yang kooperatif,” ungkapnya.

Agus Widarjono selaku Dosen Ekonomi Pembangunan FBE UII menambahkan bahwa memang terdapat permasalahan konsumsi BBM yang tidak tepat sasaran, karena semua kalangan dapat menikmati dan menggunakan BBM subsidi dan digunakan oleh orang yang tidak semestinya mendapat subsidi. Ia kemudian mengungkapkan jika subsidi BLT bisa menjadi lebih efektif daripada subsidi BBM karena kemungkinan untuk disalahgunakan lebih kecil daripada subsidi BBM. “Subsidi BLT bisa jadi lebih efektif, kemungkinan penyelewengan itu ada tapi tidak sebesar yang subsidi BBM. Karena jika BBM kan mengonsumsi, siapapun yang mengonsumsi akan mendapat subsidi. Kalau dilihat efektifnya maka efektif BLT,” ujarnya.

Penjelasan Mengenai Penolakan Kenaikan Harga BBM

Dilansir dari BBC, alasan pemerintah melakukan kebijakan menaikkan harga BBM yaitu karena sekitar 70% subsidi BBM dinikmati oleh golongan masyarakat mampu, sehingga diberlakukan kebijakan ini sebagai upaya agar subsidi tidak salah sasaran. Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), mengatakan bahwa pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang lebih ketat dalam mengawasi BBM bersubsidi, bukan malah membebankan kepada rakyat. Hal ini pun ditanggapi oleh Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, yang menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM akan membuat belanja fiskal menjadi lebih produktif. ” kenaikan harga akan menyediakan ruang fiskal lebih leluasa untuk belanja yang lebih produktif, termasuk juga melakukan perbaikan dalam sasaran pengguna BBM,” ujarnya.

Sebelumnya pemerintah melalui kementerian keuangan (kemenkeu) menyampaikan, beban subsidi tanpa menaikkan harga BBM sebesar Rp698 triliun, sementara untuk alokasi hanya sekitar Rp502 triliun. Artinya ada pembengkakan APBN untuk subsidi. Sehingga dibuatlah kebijakan menaikkan harga BBM tersebut dengan harapan pembengkakan APBN bisa diperkecil. Selain karena BBM subsidi yang tidak tepat sasaran, alasan lain mengenai kenaikan harga ini adalah adanya peningkatan anggaran subsidi yang tajam dan juga kompensasi anggaran 2022 dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun.

Tentu saja kebijakan kenaikan harga BBM menimbulkan banyak kontra dari pihak masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Mereka merasa sangat dirugikan oleh pemerintah, apalagi di tengah kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih akibat Pandemi covid 19. Mereka berharap pemerintah membatalkan kebijakan dan mencari solusi atau kebijakan yang lebih efektif dan memikirkan rakyat kecil. 

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan kebijakan menaikkan harga BBM bukan merupakan solusi untuk mengatasi ketidaktepatan sasaran subsidi. “Kenapa sasaran itu yang tidak fokus diselesaikan dulu? Bukan malah dengan menaikan BBM,” katanya. Ia juga mengungkapkan bahwa jika pemerintah mampu menemukan solusi untuk melakukan perbaikan pengawasan terhadap penggunaan BBM bersubsidi, maka beban subsidi dapat dikurangi dan tidak perlu menaikkan harga BBM.

Reporter: Rega, Difa, Haqqi, Firman, Fauzan

Editor: Mujahid Hamzah K.

976 Total Views 2 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *