Opini

IA YANG ABSEN DALAM PENCARIAN ATAS KEKAYAAN

(Sumber foto: annida-online.com)

Oleh: Ridho Haga Pratama

Bacaekon.com-Opini. Akuntansi manajemen diferensial, begitu kuliah ini dinamai. Dihadapkan dengan dua alternatif keputusan yang dapat diambil dalam proses manajemen, dengan perhitungan akuntansi tertentu, saya dapat menentukan mana yang paling layak diambil. Ini sebuah perhitungan sederhana, saya hanya perlu memilih alternatif keputusan yang 1) memberikan biaya paling murah dan 2) penjualan paling tinggi.

Kasus ini mungkin menarik untuk dibahas. Di atas tanah yang ditanami pepohonan, memerlukan 15 juta rupiah untuk menumbangkan pepohonan agar bangunan dapat didirikan di atasnya. Adapun cara lainnya, dengan dibakar, tanah dapat segera ‘bersih’ dengan biaya 2 juta rupiah. Berdasarkan syarat kelayakan pertama, memberikan biaya termurah, cara kedua dapat langsung dipilih.

Mencari Ia yang Absen

Menyelesaikan kasus di atas dapat memang menyelesaikan permasalahan akuntansi dan maksimalisasi keuntungan. Namun ia membuka lebar kerak kasus lainnya: moral, ekosistem, kesehatan, dan mungkin pula kemanusiaan. Titik api di Sumatra itu kini menjadi primadona media mainstream. Ironisnya, tak satupun kehebatan perhitungan atau maksimalisasi keuntungan yang dihasilkannya dari pembakaran yang menjadi pemberitaan, melainkan kematian, penyakit, atau terhambatnya produktivitas.

Adam Smith dan David Ricardo tiga abad lalu mungkin berhasil menelurkan pemikiran yang berhasil menjawab masalah pencarian atas kekayaan yang adil di Inggris. Namun yang menyakitkan adalah jika pencarian atas kekayaan itu dijadikan satu-satunya alasan yang legitimate untuk menentukan benar salah dalam pengambilan keputusan.

Maksimalisasi keuntungan tidak dapat dijadikan tujuan akhir dari proses ekonomi. Apa yang kurang dari kuliah ekonomi hari ini adalah absennya pembedaan antara alat dan tujuan. Kita melupakan bahwa uang hanyalah alat untuk mencapai kesejahteraan. Yang absen dari sana adalah pertanyaan besar: digunakan untuk apakah uang itu? Karenanya keuntungan tak bisa dijadikan alasan untuk menjalankan keputusan-keputusan yang mengesampingkan moral dan keberlangsungan ekologi.

Menghadirkan Kembali Moral

Pada titik ini, kesejahteraan yang ditawarkan Adam Smith (kekayaan) itu harus didefinisikan kembali. Umer Chapra melalui bukunya, The Future of Economics, memberikan tawaran untuk menghadirkan optimal ekuilibrium yang selaras dengan tujuan maqashid shari’ah. Artinya proses ekonomi tidak hanya perkara memastikan bahwa pencarian atas kekayaan tidak hanya menguntungkan dan tak merugikan pihak manapun. Sebagaimana ia disebutkan dalam teori pareto optimum, tetapi juga dalam pemanfaatannya harus menjaga akal, jiwa, agama, keturunan, dan harta (maqashid). Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, kekayaan harus dihasilkan tidak hanya dengan proses yang baik (pareto optimum), tetapi juga harus baik dalam pemanfaatannya (maqashid).

Dalam memperjuangkan pareto optimum, ekonom klasik menggunakan mekanisme pasar. Sejalan dengan teori invisible hand Adam Smith,  pasar akan mensejahterakan tiap orang dengan sendirinya bagi setiap yang berusaha mensejahterakan dirinya sendiri. Ini jelas pandangan yang naif. Pembakaran lahan yang barbar tanpa memperhatikan orang lain dengan mengatasnamakan efisiensi dan maksimalisasi keuntungan adalah contoh yang jelas bahwa mempromosikan kepentingan diri sendiri tak secara otomatis mensejahterakan orang lain. Di sini moral sebagaimana diajarkan maqashid perlu dihadirkan kembali.

Michael Hart, seorang orientalis, meletakkan nama Rasulullah Muhammad SAW dalam bukunya yang pernah mengguncang Indonesia tahun ’90-an, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia. Muhammad SAW ada di urutan pertama mengalahkan Isaac Newton di tempat kedua dan Isa Al-Masih di tempat ketiga adalah karena kemampuan ajaran yang dibawakannya berhasil membawa moral pada orang Arab. Tak hanya itu ajaran tersebut juga mampu terjaga hingga beberapa abad lamanya menjaga negara-negara Islam dari perilaku yang biadab. Bukan seberapa luas ajaran Muhammad dapat diterima dan diimani yang menjadi satu-satunya sebab Muhammad diletakkan di urutan pertama—karena jika itu ukuran satu-satunya, seharusnya Isa Al-Masih lah yang menempati urutan pertama—akan tetapi juga seberapa berhasil keimanan tersebut dihayati oleh pengikutnya.

Lalu pertanyaannya apakah Iman saja cukup? Umer Chapra mengatakan, “Keimanan itu sendiri tak dapat serta merta menghilangkan ketidakadilan di pasar. Adalah hal yang tidak realistis untuk menganggap semua orang sadar akan moralitas.” Cacat dalam sebagian pemikiran Adam Smith dan David Ricardo tak ujug-ujug membuat seluruh tawarannya salah. Kita membutuhkan moral, tapi ia tak bisa menggantikan mekanisme pasar sebagaimana mekanisme pasar bukan penyebab hilangnya moral. Upaya menghadirkan moral ke dalam ekonomi adalah upaya sinergi Akhlaq dan fiqih. Kita butuh moral sebagai akhlaq dan mengkaji mekanisme pasar sebagai fiqihnya.

 

2040 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *