Berita

Himpitan Generasi Sandwich: Wujud Dedikasi dan Derita

Desain: Amellya Candra

Narasi: Khairul Raziq

Kondisi finansial yang stabil tentu menjadi dambaan semua orang, namun tidak semuanya dapat mencapai hal tersebut. Terdapat beberapa faktor: gaya hidup konsumtif, perencanaan keuangan yang belum matang, dan dapat juga berada di dalam jebakan generasi sandwich. Lalu, apakah generasi sandwich dan bagaimana kita dapat mengikisnya?

Pucuk Pangkal Generasi Sandwich

Dipopulerkan pertama kali oleh Dorothy A. Miller, seorang profesor juga Direktur Praktikum di University of Kentucky. Dalam bukunya yang jurnalnya berjudul The ‘sandwich’ generation: adult children of the aging pada tahun 1981, digambarkan bahwa generasi sandwich sebagai kaum dewasa yang terhimpit di antara lansia dan tuntutan anak. Kondisi tersebut mengharuskan mereka menanggung biaya hidup anak sekaligus orang tua dan juga kehidupan mereka sendiri. Dalam situasi itu, generasi sandwich cenderung mengalami tekanan hingga berujung stres (Miller, 1981).

Di sisi lain, Carol Abaya, seorang jurnalis yang juga diketahui salah satu ahli dari isu ini, mengemukakan bahwa menjadi seorang dewasa dan orang tua bukanlah suatu hal yang mudah. Menurutnya juga kita hidup di lingkungan yang mengharuskan kaum dewasa harus menanggung dirinya sendiri. 

Dalam situsnya, dirinya mengurai bahwa terdapat tiga jenis generasi sandwich. Pertama, Traditional Sandwich digambarkan sebagai kondisi yang mengharuskan seseorang merawat orang tua lansia yang butuh perawatan dan juga merawat anak mereka sendiri. Kedua, club sandwich generation yaitu mereka yang berusia sekitar 50 – 60 tahun yang terhimpit antara orang tua lansia dan anak yang mulai dewasa, serta juga kehadiran cucu di tengah mereka. Terakhir, open faced sandwich generation menggambarkan siapapun yang terlibat dalam perawatan orang tua. 

 

Kondisi di Indonesia

Merujuk pada Statistik Penduduk Lanjut Usia 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 9,92 persen. (26,82 juta) lansia di Indonesia. Sementara rasio ketergantungan terhadap penduduk produktif meningkat menjadi 15,54 persen. Hal ini tentu akan mendorong kondisi generasi sandwich semakin terbentuk. Tidak hanya itu, data BPS juga menjabarkan persentase penduduk lansia menurut status tinggal bersama (2020). 

Tidak dapat dipungkiri bahwa status tinggal lansia memang menjadi dilema bagi lansia sendiri. Pasalnya ada banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut; tua, rentan penyakit, dan sebagainya. Jika dilihat berdasarkan tabel di atas, status tinggal bersama tiga generasi menjadi variabel dominan dibanding yang lainnya. Jumlahnya ada pada angka 38,59 persen di perkotaan dan 39,67 persen di pedesaan. Lansia yang berstatus sebagai orang tua/mertua, kehidupannya akan diperhatikan oleh anak atau menantunya. Faktor budaya dan agama di Indonesia diyakini berpengaruh untuk melanggengkan hal tersebut (BPS 2020).

Faktor pemicu lainnya secara tidak langsung berasal dari orang tua dan budaya yang ada. Di budaya Indonesia, orang tua sedapat mungkin harus dihargai karena telah melahirkan anak. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka di masa depan nanti anak akan terkena karma (Widayanti, 2011). Karma merujuk pada hal negatif yang akan datang akibat perbuatan di masa lalu. Selain itu anak juga dikatakan akan terkena kualat (Mulder, 1992). 

Jika ditarik lebih jauh terdapat sebuah hirarki antara hubungan orang tua-anak. Ketika semasa kecil, anak selalu diasosiasikan sebagai penerima, sementara orang tua sebagai pemberi. Seiring berkembangnya anak menjadi dewasa dan mampu secara finansial dan orang tua memasuki usia senja peran tersebut akan berputar. Anak tidak berperan sebagai penerima melainkan sebagai pemberi. Tanggung jawab tersebut dikenal dengan istilah bekti (Serad dalam Riany et. all, 2012). 

 

Upaya Mengikis Generasi Sandwich

Berdasarkan fakta yang ada, nampaknya upaya untuk memutus rantai generasi sandwich dapat menuai dinding penghalang yang besar. Prita Hapsari Ghozie, CEO & Principal Consultant ZAP Finance, menjabarkan beberapa upaya untuk mengikis ‘himpitan’ sandwich yang ada. 

Hal yang paling dasar yang harus dimiliki oleh seseorang adalah kecerdasan finansial. Hal tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan literasi keuangan. Tentu bukanlah hal yang mudah untuk dapat melakukannya. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD,2016) mendefinisikan literasi keuangan sebagai pengetahuan dan pemahaman atas konsep dan risiko keuangan. Pengetahuan yang dimiliki seseorang diyakini memiliki perilaku yang berorientasi jangka panjang dibanding yang tidak berpengetahuan (Atkinson & Messy dalam Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia, 2012). Rajin membaca, berdiskusi aktif, dan memahami berbagai pembahasan mengenai keuangan tentu dapat meningkatkan literasi keuangan masyarakat secara tidak langsung.

Langkah yang harus ditempuh selanjutnya adalah melakukan investasi sejak dini. Investasi merupakan aktivitas menanam modal dalam jangka waktu yang panjang dengan harapan memperoleh keuntungan di masa depan. Dengan berinvestasi seseorang dapat memulai merencanakan masa depan dan mencapai kemampuan finansial seperti yang diharapkan (Danareksa, 2019). 

Penetapan dana darurat juga sangat penting dalam situasi generasi sandwich yang harus menanggung beban keluarga besar. Alokasi tanggungan tidak lagi sebatas pasangan dan anak, melainkan juga beberapa anggota keluarga yang berada di lapisan atas. Oleh sebab itu, dana darurat bagi yang terjepit dalam generasi ini paling tidak membutuhkan 12 kali pengeluaran untuk kebutuhan. Besaran tersebut digunakan untuk memenuhi anggaran pendidikan, perawatan lansia, kebutuhan akan berobat, dan lainnya. (Prita Ghozie, 2020).

Terakhir adalah perihal komunikasi dan mengetahui kemampuan diri untuk membiayai sanak saudara. Dalam blognya, Prita juga menuliskan bagi generasi sandwich untuk berkomunikasi secara dua pihak: pasangan dan orang tua. Hal itu dinilai untuk mengikis rasa tidak nyaman antara keduanya. Terlebih jika dana yang dibutuhkan begitu besar untuk menanggung semuanya. Selain itu, untuk pihak yang dibantu untuk dapat mengatur hidup dan tidak boros akan pengeluaran. Langkah yang dapat ditempuh yaitu tidak bernada tinggi ketika membicarakannya, mencoba untuk tidak mengejar, menjadi pribadi yang pendengar, dan tanyakan hal apa yang akan mereka lakukan dalam waktu ke depan. 

Dapat disimpulkan bahwa menjadi generasi sandwich memang menuai dilematis di kedua belah pihak: anak dan orang tua. Konsep pemikiran “banyak anak, banyak rejeki” sepertinya harus dipikirkan matang-matang terlebih dahulu. Eksistensi budaya yang sarat akan makna juga menjadi variabel pendukung. Akan tetapi, bukan berarti budaya tersebut menjadi sepenuhnya salah. Sudah sepatutnya menjadi anak untuk mendedikasikan baktinya terhadap orang tua. Namun, di satu sisi hal tersebut dapat menjadi derita ketika anak memiliki finansial yang belum matang. Kendati demikian, masih ada beberapa langkah yang dapat mengikis himpitan tersebut.

Reporter: Khairul Raziq

Editor: Retno Puspito Sari

 

Referensi

Badan Pusat Statistik. (2020). Statistik Penduduk Lanjut Usia tahun 2020.
https://www.bps.go.id/publication/2020/12/21/0fc023221965624a644c1111/statistik-penduduk-lanjut-usia-2020.html

 

Carol Abaya Associates. The Sandwich Generation. Diakses pada 26 November 2021, melalui:

https://www.thesandwichgeneration.com/indexOld.htm 

 

Danareksa. (2019). Pentingnya Berinvestasi Untuk Masa Depan. Diakses pada 27 November 2021 melalui:

https://www.danareksa.co.id/publikasi/artikel/pentingnya-berinvestasi-untuk-masa-depan/

 

Media Indonesia. (2021). Ini Serba-Serbi Generasi Sandwich. Diakses pada 25 November 2021 melalui:

https://mediaindonesia.com/humaniora/444023/ini-serba-serbi-generasi-sandwich 

 

Miller, D. A. (1981). The ‘sandwich’ generation: Adult Children of The Aging. Social Work (United States), 26(5), 419–423.

 

OJK. (2016). Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia. Diakses pada 27 November 2021 melalui:

https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Strategi-Nasional-Literasi-Keuangan-Indonesia-(Revisit-2017)-/SNLKI%20(Revisit%202017).pdf 

 

Prita Ghozie. (2020). Bijak Mengelola Keuangan Untuk Generasi Sandwich.. Diakses pada 25 November 2021 melalui:

https://pritaghozie.com/2020/01/28/bijak-mengelola-keuangan-untuk-generasi-sandwich/ 

 

Rachel Cruze. (2021). How to Talk to Your Parents About Money. Diakses pada 27 November 2021 melalui:

https://www.ramseysolutions.com/relationships/talk-to-your-parents-about-money 

 

Riany, Y. E., Meredith, P., & Cuskelly, M. (2017). Understanding the influence of traditional cultural values on Indonesian parenting. Marriage & Family Review, 53(3), 207–226. 

 

Widayanti, C. G., Ediati, A., Tamam, M., Faradz, S. M. H., Sistermans, E. A., & Plass, A. M. C.

(2011). Feasibility of preconception screening for thalassaemia in Indonesia: Exploring the

opinion of Javanese mothers. Ethnicity & Health, 16, 483–499.

1141 Total Views 3 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *