THE BROKEN WINDOW: MORAL DAN LOGIKA EKONOMI
(Foto : nusantara.online.com)
Oleh: Ridho Haga Pratama
Bacaekon.com-Opini. Ada sebuah ciri kebaikan yang diterima setiap orang di muka bumi: manusia yang baik adalah yang berguna bagi sesamanya. Dalam modus ekonomi, kebergunaan atau manfaat ini menjadi tolok ukur indikator kesejahteraan. Di akhir artikel Wajah Sosial Kekayaan, sebuah logika ditarik bahwa uang merepresentasikan manfaat1. Karenanya total kepemilikan atas uang merepresentasikan total pemberian manfaat kepada orang lain. Tak heran perdagangan dan bilangan mata uang dijadikan ukuran kesejahteraan.
Logika pertukaran manfaat dalam kepemilikan komoditas-uang memberi kita wejangan moral bahwa untuk bisa sejahtera, mula-mula kita harus menyejahterakan dulu orang lain. Hanya dengan memberi manfaat bagi orang lain lebih dulu kita baru memperoleh kemampuan untuk hidup sejahtera. Kita mungkin akan kesulitan menemukan penyanggah seruan moral tentang manusia sebagai makhluk sosial yang saling memberi manfaat ini. Akan tetapi apakah uang dan pertukaran manfaat cukup layak untuk menyandang pujian moral itu? Ini membutuhkan pembahasan yang berbeda.
Dengan kesederhanaan penyampaiannya, seruan moral memang mudah dipahami. Namun realita selalu cukup pandai menyembunyikan kompleksitas. Dalam sebuah pamflet yang berjudul ‘What is Seen and What is not Seen’, sebuah kisah kiasan karya Frederic Bastiat berjudul ‘The Broken Window’ dimuat di sana. Kisah yang ditulis Bastiat pada 1850 ini, terdapat gugatan atas moral dalam pertukaran manfaat, lalu di saat yang sama, juga kesesatan dalam kedangkalan logika ekonomi.
The Broken Window berkisah tentang kehidupan Jacques Bonhomme, seorang warga pekerja keras. Sialnya ia yang pekerja keras harus dikaruniai anak yang kurang ajar. Suatu ketika Bonhomme junior memecahkan sebuah kaca jendela. Pada mulanya, setiap orang yang menyaksikan merasa bersimpati kepada Jacques yang, karena kelakuan anaknya, harus membayar sejumlah enam franc untuk mengganti kaca jendela yang pecah itu2.
Pertukaran manfaat pun harus terjadi. Jacques Bonhomme mempertukarkan enam franc miliknya dengan sebuah kaca jendela. Akan tetapi kemudian masyarakat kembali berpikir, mungkinkah kaca jendela yang pecah adalah hal yang baik untuk industri kaca? Bagaimanapun juga tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana nasib pembuat kaca jendela jika tak ada orang yang memecahkan kaca jendela. Siapa yang mau mengambil manfaat dari si pembuat kaca dan bagaimana pembuat kaca dapat memberi manfaat jika tidak ada kaca yang pecah?
Jika kesejahteraan diukur dengan perolehan manfaat masyarakat dengan uang sebagai tolok ukurnya, maka pertukaran yang terjadi antara Bonhomme dan pembuat kaca adalah kontribusi pada kesejahteraan. Mungkin satu-satunya yang akan menyanggah ini hanyalah nurani yang selalu tak pernah bersepakat pada pengrusakan. Karena dengan mengikuti logika yang ditawarkan The Broken Window ini, berarti juga mengakui bahwa kebutuhan akan manfaat dapat diciptakan oleh pengrusakan, dan karenanya harus mengakui pula bahwa tak ada pendorong bisnis yang lebih baik dari pengrusakan.
Gugatan dari yang tak tampak
Enam franc yang diterima pembuat kaca adalah tanda bahwa ia telah memberi manfaat kepada Jacques Bonhomme senilai itu. Mengikuti gagasan bahwa uang merepresentasikan manfaat yang diberikan pada orang lain, seharusnya mudah menyimpulkan bahwa tak ada yang lebih sosialis ketimbang orang yang kaya. Akan tetapi membayangkan penjual kaca yang kaya karena seribu kaca dirusak sebagai orang yang telah memberi banyak manfaat akan terasa ganjil bagi moral. Karena jika begitu mungkin perang dunia di mana bom bertebaran ke sana sini menghancurkan bangunan berikut kaca-kacanya akan dinobatkan jadi pendorong ekonomi terbaik.
Konflik moral dan logika ekonomi ini boleh jadi bukti bahwa realita tak pernah semudah itu mengikuti seruan moral dan lihai menyembunyikan kompleksitas. Inilah yang mungkin membuat Bastiat, sang pengarang, melihat realita sebagai sesuatu yang berlapis: ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Ini persis seperti judul pamfletnya, ‘What is Seen and What is not Seen’. Pengrusakan mendorong peningkatan nilai industri kaca, kata Bastiat, “itulah yang tampak.”
Lalu apakah yang tidak ditampakkan dalam kisah tersebut? Jacques Bonhomme menggunakan enam franc untuk membeli kaca dalam tekanan karena anaknya telah merusak kaca jendela. Alhasil, ia tak punya lagi enam franc yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli sepatu atau buku. Di masa depan ini dikenal dengan istilah biaya peluang (opportunity cost). Inilah yang tidak tampak: peluang, bahwa memilih yang satu berarti mengorbankan pilihan yang lain.
Di sisi industri, kaca jendela yang baru saja pecah memberi sinyal positif bagi peningkatan nilai industri kaca senilai enam franc. Kata Bastiat, “itulah yang tampak.” Mempertimbangkan industri secara umum agregat, jika kaca jendela tidak pecah dan Jacques Bonhomme dapat membelanjakan uangnya untuk sepatu atau buku, maka yang akan memperoleh sinyal positif adalah industri buku atau sepatu senilai enam franc. Dengan membeli kaca, ia mengorbankan peluang industri lain (seperti industri sepatu dan buku) untuk meningkatkan nilai industrinya. Ini yang dimaksud Bastiat sebagai yang tidak tampak.
Pengrusakan hanya akan memaksa Bonhomme untuk membeli kaca meskipun berkemampuan membeli hal lain di luar kaca yang bermanfaat baginya. Dalam kisah ini Bastiat menunjukkan bahwa memang ada manfaat yang akan terus menerus dikonsumsi dalam pengrusakan. Namun begitu, yang bisa diberikan pengrusakan hanyalah membatasi konsumsi-konsumsi lain yang secara potensial dapat kita peroleh jika ia tidak terjadi.
Di sini moral dan logika ekonomi berhenti berkonflik dan mendapat titik temu. Nurani yang menolak pengrusakan dan modus keuntungan ekonomi sama-sama mengakui bahwa pengrusakan tak memberi kebaikan dan keuntungan. Hal yang hanya bisa ditemukan dalam upaya yang tidak mendangkalkan pandangan hanya pada apa yang tampak. Karenanya mungkin tepat apa yang dikatakan Bastiat kemudian, “hanya ada satu perbedaan antara seorang ekonom yang buruk dan ekonom yang baik: ekonom yang buruk hanya membatasi pandangan pada apa yang tampak; ekonom yang baik mempertimbangkan dampak yang tampak maupun dampak yang harus diperkirakan”.
Referensi:
[1] : www.bacaekon.com/wajah-sosial-kekayaan/. Dimuat pada 1 November 2016
[2] : Skousen, Mark. 2015. Sang Maestro: Teori-teori Ekonomi Modern. Jakarta: Prenada Media