Opini

HALAL BI HALAL DAN TRADISI

(Sumber Foto : tekad.id)

Oleh : Achmad Afri Ariyadi

Bacaekon.com-Opini. Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1437 Hijriyah telah berlalu dengan membawa segudang cerita dan kisah yang bernuansa religius sosial. Mulai dari sisi psikologis sampai-sampai ke lingkungan masyarakat Indonesia itu sendiri dari tahun ke tahun. Penghujung bulan Ramadhan selalu dikaitkan dengan memori terulang yang senantiasa mengingatkan untuk tetap menjaga kualitas dan kuantitas ibadah kita dan tetap menjaga konsistensi untuk beramal shaleh.

Berakhirnya bulan suci Ramadhan bukan diartikan sebagai berakhirnya ritual peribadatan yang penuh gairah kekhusyukan, karena Bulan Ramadhan seperti halnya madrasah ruhaniyah yang bersifat periodik dengan salah satu tujuannya guna menggembleng hawa nafsu yang berasal dari jiwa dan menempa fisik agar tetap patuh tunduk pada Sang Empunya yakni Allah SWT.

Dalam kalender Islam berakhirnya Bulan Ramadhan artinya umat Muslim menyambut bulan Syawal sebagai lembaran baru. Berbagai agenda perayaan diwacanakan untuk menyemarakkan Idul Fitri. Mulai dari agenda mengunjungi sanak famili, kerabat, serta para sahabat guna meremajakan jalinan silaturahami hingga saling bermaaf-maafan untuk meleburkan dosa bahkan kesalahan-kesalahan satu tahun silam.

MENJADI TRADISI

Idul Fitri atau yang dikenal sebagai hari lebaran atau ada juga yang menyebutnya sebagai hari kemenangan, merupakan sebuah momentum yang selalu ditunggu-tunggu. Setelah selesainya puasa, membayar zakat, dan dilaksanakannya sholat ied di Masjid atau ada juga yang mengadakan di pelataran terbuka layaknya lapangan hingga alun-alun, manusia kembali pada fitrah (asal muasal) yang berarti kembali pada kesucian. Sebagaimana seperti doa yang dimunajatkan dalam hari raya tersebut dan selalu dikumandangkan ketika umat muslim bertemu dengan umat muslim lainnya, taqabbalallahu minna wa minkum, shiamana wa shiamakum (Semoga Allah menerima ibadah kami dan ibadah kalian, serta puasa kami dan puasa kalian) dan minal aidin wal faidzin (Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali suci dan memperoleh kemenangan) yang kemudian dipersingkat menjadi mohon maaf lahir dan batin.

Hal ini karena Idul Fitri oleh masyarakat Indonesia identik dengan momen saling maaf-memaafkan. Namun hal itu menjadi wajar mengingat akses pengetahuan tentang berbagai istilah-istilah ke-Islaman sangat terbatas, sehingga masyarakat hanya menafsirkan secara menduga-duga. Apa lagi didukung oleh suasana berlebaran masyarakat yang telah menjadi tradisi turun temurun.

Pasca Idul Fitri masyarakat Indonesia dihadapkan pada peristiwa halal bi halal, ketika merujuk ke berbagai sumber sejarah Islam, halal bi halal secara tata bahasa mengadopsi kata-kata serapan dari bahasa Arab namun yang menjadi kebingungan adalah di Arab secara umum istilah tersebut tidak populer dan kurang dikenal bahkan ketika masa Rasulullah dan era setelahnya tidak ditemukan tradisi halal bi halal.

Meskipun tradisi silaturahmi dan saling mengunjungi juga dilakukan oleh semua umat Muslim di belahan dunia tetapi acara tahunan ini memang menjadi salah satu tradisi Islam asli masyarakat Indonesia.

Hikmah dari silaturahmi sendiri adalah meluruskan kembali benang kusut komunikasi sesama manusia, menjalin kembali silaturahmi yang terputus atau rapuh akibat dari mobilitas sosial dan hal tesebut sangat dianjurkan dalam agama. Terlepas dari pembahasan silaturahmi, halal bi halal juga dikaitkan dengan akulturasi dari ajaran Islam dan budaya Jawa yang entah kapan terjadi pertama kali, meski begitu tidak ada yang tahu secara pasti ataupun jelas.

Beberapa sumber meriwayatkan bahwasanya penggagas istilah halal bi halal terjadi ketika pergolakan elit politik di tahun 1948, ketika terjadi disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar dan menyalahkan serta tidak mau duduk dalam satu forum, dengan terjadinya hal itu pada pertengahan bulan Ramadhan di mana Ir. Soekarno memanggil KH. Abdul Wahab Hisbullah (pendiri NU) ke Istana negara untuk menyelesaikan kondisi politik Indonesia yang tidak sehat. Kondisi yang demikian membuat KH. Abdul Wahab Hisbullah menyarankan untuk mengadakan pertemuan yang diistilahkan dengan halal bi halal.

Sumber lain meriwayatkan dari cerita KGPAA Mangkunegara I dari Keraton Surakarta atau lebih familiar dengan nama Pangeran Sambernyawa, dengan tujuan untuk efisiensi waktu, biaya, dan tenaga daripada mengunjungi berbagai tempat, setelah sholat ied diadakan semacam pertemuan antara raja dan para prajurit dan pada saat itulah para prajurit melakukan sungkem kepada raja dan pangeran serta permaisuri.

Dalam perkembangannya saat ini tradisi tersebut sudah tersebar luas di Indonesia bahkan menjadi agenda rutin tahunan yang diadakan dari lingkungan keluarga hingga menjalar ke instansi pemerintah. Halal bi halal memang dikhususkan terjadi saat Idul Fitri, tetapi kandungan nilai-nilai dan spirit di dalamnya tidak hanya bersifat sementara atau parsial saja. Hakikatnya semakin banyak mengulurkan tangan dan melapangkan dada, semakin parah luka yang terobati dengan memaafkan maka semakin dalam pula penghayatan memaknai halal bi halal itu sendiri. Bentuknya memang Indonesia tapi hakikatnya ternaung ajaran-ajaran Islam

 

 

4075 Total Views 2 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *