Ekspresi

Facing the Reality

Ilustrasi: Hairul Anwar

Oleh: Alifia Kusumaningtyas

Bacaekon – Riuhan tepuk tangan menyelimuti suasana haru dalam ruangan teater itu. Mereka berhasil menampilkan suatu persembahan menakjubkan hingga membuat semua mata di sebagian bangku penonton memandang dengan binar. Hal tersebut membuat Dinda, salah seorang aktor dalam pertunjukkan teater itu tersenyum kecil. 

Tirai panggung perlahan menutupi para pemain yang langsung kembali ke belakang panggung. Pelakon, penata rias, dan para kru yang terlibat saling berpelukan serta memberi ucapan selamat atas keberhasilan jalannya drama teatrikal barusan. 

“Selamat ya, seperti biasa penampilan kalian selalu buat takjub,” ujar salah satu staf.

“Untungnya Mbak, gak ada kesalahan apapun, walaupun sebelumnya deg-deg banget,” ujar Dinda

“Asik nih, abis ini turun bayarannya, akhirnya setelah lelah badan dan pikiran ini,” celetuk Adit, sang pemeran utama dalam teatrikal itu. 

Dinda tertawa celetukan dari teman-temanya itu. Rasa senang dan lega pun menghinggapi hati dan pikirannya. Ia senang dapat berpartisipasi dalam drama teatrikal di tahun ketiganya walau hanya sekedar pemeran pendukung, tetapi ia bisa mempersembahkan aktingnya dengan totalitas dihadapan mata para penikmat drama ini. 

Tinggal di Ibu kota dan bekerja sebagai aktor teater adalah suatu hal yang tidak Dinda kira. Ia pergi dari tempat kelahirannya lalu mengadu nasib dengan berbagai ekspektasi. Ia, yang merupakan lulusan sekolah teater kemudian mengikuti casting dengan harapan ia bisa menjadi bintang layar kaca. Berbagai audisi ia ikuti, namun kegagalan lah yang menjumpainya. 

Mungkin pepatah jangan putus asa adalah salah satu alasan Dinda untuk terus mencari peruntungan di bidang tersebut. Sebutlah ia terlalu memikirkan passion dan menyampingkan realita jika mencari pekerjaan tidak usah terlalu pilih-pilih. Tetapi, ia sangat serius dalam mendapatkan hal yang ia sukai itu. Setelah kesulitan selama beberapa bulan, akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada sebuah teater yang tak terlalu besar dan jarang orang mengetahuinya, Miracle Teater. Sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak pada Dinda hari itu, karena setelah ia melakukan aksi aktingnya, ia langsung diterima sebagai pemain tetap Miracle Teater. 

Itu hanyalah kilas balik dari alasan mengapa Dinda menjadi seorang artis teater. Walaupun honor yang ia terima tidak sebesar bayangannya ketika ia memutuskan untuk menjadi artis. Honor yang diterima setidaknya itu melebihi upah minimum. Tetapi terkadang memang ada perasaan iri dalam benaknya dengan upah para artis-artis di luar sana. 

Fakta dan kenyataan pahit seperti itu, Dinda hanya bisa menerimanya. Dikarenakan mau bagaimana lagi, level ia dan para penghibur layar itu berbeda. Terkadang, Dinda merasa hal ini bukanlah suatu yang adil untuk dirinya. Mereka yang hanya mengandalkan sensasi dan kontroversi dapat dengan mudah masuk ke dalam industri hiburan dan dikenal banyak orang. Bahkan dengan mudahnya mendapatkan peran untuk tampil di layar kaca. Sementara mereka yang memang punya bekal dalam panggung sandiwara harus terus memanjat agar tidak dilupakan dan tergerus dengan yang lain. 

Bisik-bisik terdengar dalam ruangan wardrobe tempat Dinda dan yang lain beristirahat. Terdengar dua orang temannya sedang mengobrol dengan volume suara yang kecil. Bukan maksud hati untuk menguping, namun Dinda masih mendengar sayup-sayup suara mereka. 

“Enak ya artis-artis itu, sekali main dapet bayarannya gede banget, iri hati aku sama mereka”

“Iya kita sama-sama kerja di dunia peran, tapi rezeki nya malah beda”

“Kapan ya kita bisa sampe kesitu”

Sedikitnya, Dinda setuju dengan perbincangan mereka. Akankah ada kesempatan untuk aktor kecil seperti dirinya merasakan ketenaran seperti yang artis-artis lain itu rasakan. Ia bisa saja mengambil jalur cepat seperti itu. Tapi tidak, Dinda tidak cocok dengan hal itu, bisa-bisa image dia malah hancur dan menjadi jalan menuju kehancuran karirnya. 

Malam makin larut, sudah waktunya untuk para pemain untuk pulang ke rumah masing-masing. Dinda menunggu bus di sebuah halte hijau yang sudah sering menjadi tempatnya merenung sembari menunggu kedatangan transportasi umum sejuta umat Ibu kota. Entahlah, dibanding memesan taksi atau kendaraan online, Dinda lebih nyaman untuk menggunakan transportasi umum. Kesannya supaya bisa lebih lama menikmati hiruk pikuk Ibu kota, apalagi sambil mendengarkan musik, sangat syahdu menurut Dinda. 

Tak butuh waktu lama untuk Dinda sampai di rumah. Ia langsung membersihkan diri lalu membuat makan malam, sederhana saja hanya telur mata sapi dan juga kecap. Ia menikmati makan malam dengan ditemani berita televisi. Ia memang lebih menyukai menonton berita, lebih informatif saja menurutnya. Lalu selanjutnya pembawa acara pun memberikan sebuah informasi mengenai seorang artis sinetron yang ternyata selama ini diperlakukan buruk, gaji ditahan, kerja terus-menerus tanpa henti, dan perlakuan buruk  lainnya yang hanya membayangkan saja pun Dinda merasa ngeri. Dibalik ketenaran dan gelimangan harta, terdapat fisik dan batin yang harus menjadi korban secara keji. 

Well, memang ada resiko di setiap pekerjaan yang kita lakukan, mungkin saja jika Dinda terjun di dunia hiburan yang seperti itu, ia bisa mendapat perlakuan sebagaimana yang dialami oleh artis tersebut. Namun, sekali lagi Dinda bersyukur ia tak mendapat hal buruk macam itu. Terkadang memang ada sisi baik dari suatu hal yang sudah kita dapatkan dan jalani. 

Editor: Amanda Amelia 

286 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *