Berita Ekonomi

Blue Economy: Opportunities Atau Boomerang Bagi Negara Berkembang?

Ilustrasi: Hanan Afif Wirawan 

Riset: Ghifar Alif Utama 

 

Latar Belakang

Setelah munculnya dan maraknya konsep ekonomi hijau (green economy), banyak dari negara di dunia salah satunya melalui forum internasional mulai menggagas munculnya konsep baru yang dinilai lebih mutakhir. Konsep ini dinamakan konsep ekonomi biru (blue economy). Konsep ini, berkaitan dengan potensi maritim yang dimiliki suatu negara

Menurut UNCLOS 1982, syarat negara dapat dikatakan sebagai negara kepulauan (archipelagic state) yaitu jika luas daratan tidak kurang dari 1:1 dan tidak lebih dari 9:1. Dengan demikian, Indonesia secara tidak langsung dapat dikatakan menjadi negara kepulauan karena terdiri dari ribuan pulau dan wilayah yang saling dibatasi oleh perairan dan daratan yang memiliki topografi yang beragam dan bervariasi.

Dengan adanya potensi yang begitu besar dalam keanekaragaman hayati dan biota serta Sumber Daya Alam (pada potensi kelautan), maka hal ini dapat menjadi keuntungan yang strategis bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selaras dengan keunggulan kompetitif Indonesia ditinjau dari segi potensi ekonomi, konsep blue economy menjadi di pertimbangkan untuk di implementasikan.

Blue Economy sendiri merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan upaya pelestarian ekosistem laut, dimana laut ditinjau sebagai sumber ekonomi melalui upaya mencapai peningkatan mata pencaharian dan lingkungan bahari yang terjaga. Dimana di Indonesia ekosistem ini menjadi salah satu yang memiliki potensi besar dan berpeluang menjadi pusat kemakmuran bagi bangsa.

Ide dasar dari konsep ekonomi biru (Blue economy) berkaitan antara hubungan antara sektor kelautan, perubahan iklim, serta kesejahteraan masyarakat yang membuat upaya penanganan ekosistem bawah laut yang perlu dijaga kelestariannya agar tetap memberikan manfaat ekonomi berkelanjutan bagi generasi saat ini maupun generasi mendatang serta bagi pertumbuhan ekonomi bangsa sendiri.

Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, menyebutkan bahwa upaya mengembangkan blue economy di Indonesia menjadi salah satu langkah penting terhadap potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan dan inklusif. Dimana potensi blue economy sendiri diperkirakan mencapai USD 1,33 Miliar dan mampu menyerap sekitar 45 juta lapangan kerja”.

Hal ini selaras dengan konsep Blue Economy yang saat ini belum diimplementasikan di Indonesia dengan baik. Dimana hal ini disebabkan juga kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor kelautan dan kemaritiman salah satunya dengan dominasi pangan dan kebutuhan masyarakat yang belum menjadikan sektor kelautan sebagai ekonomi yang prospektif. Hal ini tentu menjadi tantangan ganda bagi negara Indonesia di tengah upaya pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sempat melemah selama masa pandemi Covid-19.

 

Urgensi Penerapan Blue Economy

Blue Economy dapat dikatakan sebagai suatu langkah yang cukup strategis bila dapat dimanfaatkan dan diambil manfaatnya oleh berbagai negara di dunia. Dengan menekankan proyeksi dan pengembangan serta promosi pembangunan ekonomi laut yang berkelanjutan dengan umumnya digambarkan sebagai sebuah kebijakan meningkatkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia di bidang kelautan dengan pembangunan berkelanjutan terhadap aspek: sosial, lingkungan, dan ekonomi secara simultan.

Ekonomi biru menjadi isu penting belakangan ini karena lautan yang sehat menyediakan pekerjaan dan makanan, menopang pertumbuhan ekonomi, mengatur iklim, dan mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir. Milyaran orang di seluruh dunia terutama yang termiskin di dunia mengandalkan lautan yang sehat sebagai sumber pekerjaan dan makanan, menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk menggunakan, mengelola, dan melindungi sumber daya alam ini secara berkelanjutan. Menurut OECD, lautan menyumbang USD1,5 triliun per tahun dalam nilai tambah bagi perekonomian secara keseluruhan dan jumlah ini dapat mencapai USD 3 triliun pada tahun 2030 (World Bank, 2022). FAO memperkirakan bahwa sekitar 58,5 juta orang bekerja di seluruh dunia hanya dalam produksi ikan primer–sekitar 21 persen diantaranya adalah wanita. Termasuk subsisten dan pekerja sektor sekunder, dan tanggungan mereka, diperkirakan sekitar 600 juta mata pencaharian bergantung setidaknya sebagian pada perikanan dan akuakultur. Sebagian besar berada di negara berkembang, dan skala kecil, nelayan artisanal dan pembudidaya ikan. Lautan dan ekosistem pesisir yang sehat sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi dan produksi pangan, tetapi juga merupakan kontributor penting bagi upaya global untuk memitigasi perubahan iklim (World Bank, 2022).

Sementara sumber daya laut meningkatkan pertumbuhan dan kekayaan, keberlanjutannya telah berada di ambang dampak antropogenik. FAO memperkirakan bahwa, di seluruh dunia, persentase stok perikanan yang tidak berada dalam tingkat yang berkelanjutan secara biologis meningkat dari 10 persen pada tahun 1974 menjadi 35,4 persen pada tahun 2019. Namun, FAO juga memperkirakan bahwa 82,5 persen pendaratan tahun 2019 berasal dari stok yang berkelanjutan secara biologis–3,8 persen perbaikan dari tahun 2017 (FAO, 2020). Menurut studi World Bank, The Sunken Billions Revisited, penangkapan ikan yang lebih sedikit akan menghasilkan peningkatan 40 persen dalam nilai lahan global, sementara juga mengurangi biaya hingga lebih dari 40 persen. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa keseimbangan berkelanjutan untuk perikanan laut global, di mana manfaat bersih maksimum dapat dicapai, akan memerlukan pengurangan upaya penangkapan ikan global sebesar 44 persen (World Bank, 2022).

Peran Serta Negara Maju Terhadap Penerapan Blue Economy di Indonesia

Negara maju utamanya negara-negara besar yang telah sebelumnya menerapkan Blue Economy ini tentunya menjadi motivasi dan dukungan bagi indonesia agar dapat menerapkan konsep ekonomi biru yang dapat bermanfaat sebagai penambah pendapatan nasional dari sektor maritim yang selama ini belum terserap maksimal.

Dimana dalam hal ini Indonesia berusaha menjadi Pelopor gerakan Blue Economy atau upaya untuk memaksimalkan sektor kelautan melalui potensi-potensi yang ada dan dalam hal ini negara-negara khususnya ASEAN didorong bersama-sama dapat mengelola potensi ini dengan baik, dan berupaya semaksimal mungkin agar dapat menjadi negara yang mampu bersaing melalui hasil ekosistem laut yang berkelanjutan.

Indonesia dapat menjadi pelopor kerjasama di tingkat ASEAN untuk penerapan ekonomi biru yang lebih terintegrasi karena Indonesia akan memegang keketuaan dalam KTT ASEAN pada tahun 2023 dan kapasitas Indonesia sebagai negara maritim terbesar. Indonesia dapat menentukan agenda dan capaian apa yang harus diraih sebagai penyusun rencana regional dengan memasukkan blue economy sebagai salah satu agenda yang harus dibahas dalam KTT ASEAN tahun depan. Dengan kata lain pula, Indonesia harus siap menjadi formatur kebijakan dan kerangka kerja ekonomi biru agar komitmen negara anggota tidak sebatas pada deklarasi secara kolektif saja, tetapi juga dapat berjalan hingga tahap implementasi. Kerangka kerja dalam implementasi ekonomi biru ini dapat berupa kerja sama baik antarnegara anggota, subregional, maupun ASEAN secara keseluruhan.

Indonesia sendiri telah menjalankan kerja sama dengan Swedia mengingat keduanya sama-sama mengembangkan strategi penerapan ekonomi biru (Bappenas, 2021). Kerja sama lain juga dilakukan oleh Indonesia dengan Kepulauan Seychelles melalui program pengembangan ekonomi biru di Pulau Maratua, Kalimantan Timur (Kompas, 2021). Pemberdayaan dan pemenuhan pemanfaatan potensi sumber daya laut melalui program ini diharapkan menjadi contoh bagi negara-negara anggota ASEAN lainnya. Dari dua kerja sama tersebut, Indonesia seharusnya juga dapat menjadi aktor kerja sama di dalam ASEAN agar pelaksanaan ekonomi biru dapat lebih terintegrasi. Kerja sama ini juga dapat dilakukan dengan mitra wicara ASEAN dalam menerapkan ekonomi biru kawasan (Kemlu RI, 2021).

Selain memegang keketuaan dalam KTT ASEAN 2023 ini, alasan mengapa Indonesia dapat menjadi pelopor kerangka kerja implementasi ekonomi biru adalah Indonesia merupakan negara yang memiliki perairan dan zona ekonomi eksklusif terbesar sehingga kerja sama antarnegara anggota ASEAN sangat diperlukan (Antara, 2021). Dalam konteks ini, Indonesia juga dapat menjadi pelopor dalam menjaga stabilitas keamanan di perairan Asia Tenggara mengingat persoalan keamanan di wilayah laut merupakan faktor penting dalam pengembangan ekonomi biru. Dengan demikian, Indonesia dapat memasukkan agenda keamanan dalam ekonomi biru di bawah pilar keamanan Masyarakat ASEAN, yaitu ASEAN Security Community (ASC).

Diperlukan kerangka kerja yang lebih rigid untuk menjaga keamanan dan stabilitas perairan negara-negara ASEAN, utamanya dalam menumpas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing dan perompakan (piracy). IUU fishing sendiri telah membawa kerugian yang cukup signifikan bagi ASEAN mengingat sebagian besar perekonomian negaranya bergantung pada sektor perikanan dan kelautan (Lee & Viswanathan, 2020). Sementara berbagai kerangka kerja dalam menyelesaikan persoalan perompakan di Asia Tenggara dinilai masih mengalami error sehingga dibutuhkan framework yang lebih solutif (Rebecca, 2018).

Keberhasilan implementasi ekonomi biru memang tak terlepas dari peran dan upaya tiap-tiap pemerintah negara. Namun, sebagai kawasan yang memiliki potensi besar, diperlukan kerangka kerja yang jelas dalam implementasi ekonomi biru di ASEAN. Dalam mengisi absennya kerangka kerja tersebut, Indonesia memegang peran penting, yaitu menjadi pelopor dengan memasukkan agenda-agenda terkait blue economy dalam KTT ASEAN 2023. Meskipun Indonesia telah membawa agenda tersebut dalam Presidensi G20 tahun 2022 ini, pembicaraan mengenai ekonomi biru tetap harus ada di tingkat regional ASEAN. Sebagai negara maritim, perlu dipahami pula bahwa Indonesia berbatasan langsung dengan laut teritorial lain sehingga pencapaian ekonomi biru tak semata oleh Indonesia sendiri saja, tetapi juga memerlukan kerja sama secara kolektif.

Upaya Indonesia Memanfaatkan Peluang Kemaritiman 

Kemaritiman sendiri, mulai digagas dengan baik semenjak masa pemerintahan presiden Joko Widodo melalui menteri bidang sektor kemaritiman dan investasi yaitu Luhut B. Panjaitan. Dimana, dengan berbagai potensi yang dimiliki akan sangat sayang untuk dilewatkan untuk dilakukan pengelolaan. Sedangkan, jika dilakukan pengelolaan pun akan dapat mendatangkan peluang investasi dan juga pemerataan pembangunan yang baik di berbagai wilayah di Indonesia yang memiliki topografi beragam dan unik.

Dengan luas wilayah yang mayoritas perairan dibatasi dengan berupa dataran kecil dan pulau-pulau yang tersebar dari sabang hingga merauke, tentunya suatu potensi yang besar agar dapat memanfaatkan peluang ini untuk kemajuan bangsa dan mengembangkan sektor-sektor lain yang belum tergarap maksimal.

Salah satu wujud penerapan upaya indonesia memanfaatkan peluang ini berkaitan dengan beberapa hal antara lain sebagai berikut:

  1. Perikanan
  2. Terumbu Karang
  3. Hutan Mangrove
  4. Sumber Daya Migas dan Mineral
  5. Rumput Laut
  6. Transportasi Laut
  7. Keindahan Pantai 
  8. Taman Laut
  9. Pertahanan Laut

 

Kesimpulan

Potensi kontribusi sektor pendukung ekonomi biru bagi perekonomian Indonesia sangat berlimpah. Kontribusi terbesar terlihat dari sektor perikanan baik berupa perikanan tangkap ataupun perikanan budidaya/akuakultur. Namun, dari semua sektor industri dalam ekonomi biru, Indonesia belum sepenuhnya mengembangkan sektor energi terbarukan, bioekonomi, dan bioteknologi secara optimal. Sementara itu, dalam mengembangkan sektor ekonomi biru ditemui tantangan seperti di sektor perikanan tangkap diketahui bahwa sumber daya ikan makin menipis akibat overfishing. Jika hal ini berlanjut maka pasokan ikan dari industri ini akan semakin berkurang, begitu pula halnya bagi industri minyak dan gas. Untuk sektor industri kimia berbasis laut memiliki beberapa tantangan diantaranya: 

  1. Industri didominasi oleh UMKM
  2. Daya tampung unit pengolahan pangan berbasis laut pada umumnya masih rendah 
  3. Kurangnya keterampilan dan pengetahuan teknis sumber daya manusia terhadap standar produksi, serta rendahnya jaminan kualitas produk dan bahan baku
  4. Resiko pasokan bahan baku yang tidak berkelanjutan
  5. Perubahan dinamis dalam preferensi konsumen. 

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Indonesia melakukan beberapa upaya diantaranya menerapkan zonasi laut atau MPA untuk mengendalikan overfishing; memberlakukan regulasi di bidang kelautan dan dilakukan penegakan yang tegas; pelaksanaan koordinasi dan sinergi yang kuat antar stakeholder yang memiliki tugas dan fungsi di bidang kelautan dan perikanan. Selain itu, kesempatan kerjasama dengan pihak internasional juga terus digali. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji secara detail dampak masing-masing sektor industri ekonomi biru terhadap perekonomian secara kuantitatif. 

Hal ini dapat dilakukan dengan menggambarkan kondisi regional maupun nasional agar studi mendatang dapat memberikan gambaran akurat atas dampak ekonomi biru bagi perekonomian. Tidak hanya itu, aspek lingkungan dari ekonomi biru tiap sektor juga perlu dikaji agar dapat menghasilkan sektor “baru” yang berkelanjutan bagi Indonesia.

Editor: Nur’Alif Nafilah 

432 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *