Ekspresi

Bimbang

Ilustrasi: Agung Bramasta 

Oleh: Lu’lu Atsna Nurfuadda*

Bacaekon – Mayoritas orang yang melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, pasti mendapatkan pilihan jurusan sesuai keinginan. Meskipun itu sesulit Teknik, serumit Akuntansi, dan sesukar Arsitektur. Aku termasuk bagian dari kumpulan orang tersebut. Sejak kecil cita-citaku ingin menjadi Designer. Oleh karena itu, dengan dukungan kedua orang tuaku, aku memilih sekolah tata busana di salah satu kampus ternama di Jakarta. Penuh perjuangan yang terbayar tanpa sia-sia. 

“Orang tua pasti mau yang terbaik untuk anaknya. Tapi, apa yang mama mau sama apa yang kamu mau itu pasti ada perbedaan, entah itu diproses berjalannya atau tujuannya. Sekarang, kamu masih ada kesempatan untuk merancang tujuan kamu, mau kayak apa, mau kayak gimana. Yang paham akan susah senangnya proses itu ya kamu sendiri, bukan mama. Jadi mama percaya apa yang terbaik untuk putri mama.Saat itu, aku masih seorang remaja berusia empat belas tahun yang hendak memasuki masa SMA. Pada hari libur, aku dan mama menghabiskan waktu berdua di gazebo belakang rumah. Hingga obrolan tentang masa depan mulai mengambil alih kegiatan kami.

Namun, siapa sangka bahwa realita tak sesuai ekspektasi. Di tahun kedua bangku perkuliahan, aku mulai kehilangan rasa antusias untuk mengerjakan sesuatu yang menyangkut designer. Dahulu aku tidak pernah absen untuk membeli majalah fashion magazine meskipun hanya sekali dalam seminggu, aktif media sosial untuk sekedar update tentang fashion trends saat itu, scroll Pinterest hingga tak kenal waktu mengisi album yang akan kugunakan untuk referensi mix and match

“Mama, Chatra udah gak mau jadi designer lagi.”

Mama yang sedang menyiram bunga-bunganya langsung menoleh kepadaku. Terlihat dari raut wajahnya, Mama terkejut dan bingung. Alih-alih meminta penjelasan atas perkataanku, Mama buru-buru mematikan keran air dan memelukku dengan perlahan namun erat, pelukan yang akan selalu menjadi pelukan ternyaman. Selagi menikmati pelukan Mama, air mataku tiba-tiba luruh tanpa bisa dicegah, dadaku sesak, punggungjku bergetar menggambarkan betapa sakitnya memanggul ekspektasi yang begitu besar. 

“Chatra, putri kesayangannya mama, dunianya mama. Gapapa, ya, pelan-pelan. Kalau sedang buntu, gak masalah untuk rehat sebentar. Kamu boleh pulang ke Mama, cerita sama Mama. Semuanya gak harus selesai cepat-cepat, don’t feel rushed, okay?” 

“Kamu ngerasa salah jurusan, gak?” lanjutnya.

“Nggak, tapi Chatra ngerasa belakangan ini gak ada semangat kuliah fashion design. Padahal tadinya Chatra cinta banget ngelakuin itu. Sekarang Chatra jadi ngerasa bersalah ke diri sendiri karena udah bikin proses ke tujuan Chatra jadi rumit kayak gini.”  You know when that enthusiastic feeling disappears, the self-blame will grow and slowly eat us alive. Aku akan selalu merasa bersalah terhadap diriku sendiri, terutama terhadap mama. Mama menjadi satu-satunya orang yang percaya bahwa apa yang aku lakukan memang proses menuju tujuan yang aku impikan. Tapi nyatanya hari ini, aku hilang arah, tak tahu tujuanku yang sebenarnya kemana, seperti siapa. 

“Gak semua kesulitan itu jalan keluarnya berhenti, Chatra. Harus dicari penyebabnya dulu, biar kamu bisa ketemu sama solusinya. Emang kamu gak mau belajar hal baru? Gak jadi mau punya butik? Yuk, dibangun rasa penasarannya, diperbanyak pertanyaannya. Sesederhana ‘habis ini aku belajar apa lagi ya?’ biar kamu punya pandangan baru. Mama percaya kok, anak mama ini bisa bedain mana yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri.”  Diusap-usapkannya kepalaku dengan sayang sehingga ada rasa hangat yang tersalurkan. 

“Makasih ya, makasih karena kamu udah berjuang sejauh ini. Makasih udah jadi anak baiknya Mama. Makasih udah percayakan Mama sebagai tempat kamu pulang, tempat kamu mengadu.”

Semakin kita beranjak dewasa, kita akan dihadapkan oleh banyaknya pilihan hidup. Itulah sebabnya ketika kecil kita selalu diminta mengisi biodata untuk mengetahui apa yang kita inginkan. Contohnya hobi dan cita-cita, semurni pikiran anak kecil yang ingin menjadi dokter tanpa mengetahui bahwa ia akan dihadapkan oleh darah, anak kecil yang ingin menjadi presiden tanpa mengetahui bahwa ia akan memegang tanggung jawab yang besar atas negara. Hal itu mengajarkan kita untuk bisa belajar memilih agar tidak hilang arah saat sudah besar nanti.

Editor: Amanda Amelia 

*Penulis adalah magang LPM Ekonomika

405 Total Views 2 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *