Beautiful Mess
Ilustrasi: Agung Bramasta
Oleh: Lu’lu Atsna Nurfuadda*
Bacaekon – Awal tahun 2018, aku sedang membaca buku di taman kota. Terlihat langit bersinar sendu tanda matahari menyelesaikan tugasnya tuk menyinari Kota Bandung. Tiba-tiba seorang pria duduk di bangku sebelahku dengan jarak sekitar dua meter sambil sesekali menyeruput ice americano. Terlihat ia sedang asik membaca sebuah buku yang sangat familiar. Mengendap-endap aku mendekatinya dengan berjalan kecil.
“Kamu suka karyanya Valerie Patkar ya?.” Tidak pernah terpikir olehku akan seberani ini untuk memulai percakapan dengan orang asing. “Kamu juga?,” jawabnya. Syukurlah, ia tidak menatapku aneh dikarenakan tiba-tiba muncul dan dengan sok akrab mengajaknya berbicara. Terlihat dari raut wajahnya bahwa dia sama antusiasnya dengan denganku.
“Aku jatuh cinta sama gaya penulisannya, terus bahasanya nggak terlalu berat, jadi nyaman dibaca. Kalo kamu?,” tanyaku balik. Aku tidak ingin pembahasan ini berhenti begitu saja. Mungkin karena aku terlalu suka dengan Valerie Patkar.
“Actually, this is my first time reading her work. But I agree with you. Belum nemu narasi yang seindah ini. Rasanya aku ikut ke dalam ceritanya.” Dia mengangguk-angguk pelan. “Which one do you like? Walaupun ini buku pertamanya yang aku baca, tapi aku tau kok buku-buku dia yang lainnya,” lanjutnya. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku mulai menjawab tanpa berpikir lama. “Serangkai.”
Dia terlihat diam, seperti sedang berpikir, “Bukunya baru terbit Januari kemarin, jadi wajar kalau kamu gak tau.” Bibirnya membulat lucu. “Berarti aku belum tahu banyak buku-bukunya Valerie ya.” Kami pun tertawa kecil. Tidak lama, pria ini menjulurkan tangannya. “Javio,” ucapnya. “Gheena,” balasku dengan tersenyum.
Selepas pertemuan hari itu, aku dan Javio menjadi dekat. Kami banyak membicarakan novel-novel karya luar negeri maupun karya dalam negeri. Entah itu genre fantasy, romance atau bertajuk tentang self improvement. Genap empat bulan setelah masa pendekatan, tepatnya pada hari ulang tahunku, Javio mengajakku untuk memulai suatu hubungan dengan harapan akan lanjut ke jenjang yang lebih serius. Saat ini, hubungan kami sudah memasuki tahun kelima. Semuanya berjalan lancar. Bahkan jika diamati, kepercayaan yang kami taruh kepada sesama dapat mempererat perasaan satu sama lain, tanpa tahu sesuatu mungkin akan terjadi.
Udara sejuk telah menyelimuti dua insan yang sedang berjalan dipinggir danau ini. Night walking memang keputusan yang tepat untuk Javio dan Gheena. Tangan mereka saling bergandengan, menggenggam dengan erat seperti tidak ingin melepaskan. Terlihat jelas bahwa salah satu dari mereka sama-sama sedang menahan sesuatu untuk dicurahkan dan tidak ingin hari ini berakhir begitu cepat.
“Besok flight jam berapa, Jav?,” tanya Gheena memecah keheningan. Tatapan Javio beralih ke Gheena, menatap dengan sendu. “Jam 07:45 pagi, Ghe.” Keduanya kembali bungkam.
Gheena menghela nafas dengan berat, semakin tergambar bagaimana ia tak ingin melepas Javio. Besok, Javio akan pergi untuk menempuh pendidikan pasca sarjananya di UK. Jelas itu adalah kabar yang menggembirakan sekaligus sedih.
“Let’s try to do LDR first, Ghe,” bisik Javio pelan. “We’ve discussed this, Jav.” Jujur, Gheena hanya ingin fokus menghabiskan waktu berdua dengan Javio tanpa memikirkan hari setelah Javio pergi.
“We can somehow find a way to work things out…” Sang wanita memilih diam membisu, enggan membalas perkataan Javio.
“Aku janji bakal selalu ngabarin kamu. Aku janji bakal telpon kamu tiap ada waktu luang, oke? I promise. I’m not gonna leave you behind. Percaya sama aku, Ghe,” kukuh Javio. Tangannya mencengkram bahu Gheena kuat.
“Bukan aku nggak percaya sama kamu. Tapi aku gamau kamu terbebani sama hubungan kita. Nanti itu bakal ada perbedaan waktu, Jav, yang mana itu jadi kesulitan pertama kita buat saling berkabar. Ditambah nanti jadwal kamu bakal padat, dan pasti sepulang itu kamu harus istirahat.” Jelas Gheena hati-hati, takut ucapannya akan menyinggung Javio.
“Tapi aku sama sekali gak pernah merasa terbebani sama hubungan kita. Bahkan sekalipun aku lagi capek, aku tetap selalu nyari kamu. And see? Kita udah jalan lima tahun, Ghe.” Emosi tak terbendung mulai membuncah dari Javio. Tidak ada maksud untuk menyudutkan Gheena, ia hanya sedang membujuk sebisa mungkin agar kekasihnya berubah pikiran. “Kamu beneran mau nyerah sama aku? sama lima tahun kita?”
Namun, berbeda dengan Gheena yang merasa tertekan dengan ucapan Javio. Ia terlihat semakin terisak sembari meremat lengan jaket Javio kencang “I can’t, Javio. Please…” bisiknya lirih, namun Javio tetap bisa mendengar dengan jelas.
Javio jelas tidak melanjutkan perdebatan ini, ia percaya Gheena memiliki alasan tersendiri saat memutuskan untuk berpisah. Meskipun dengan hati yang mengganjal, Javio tetap ikhlas. Meskipun dengan berat hati, Javio terima. Sedangkan Gheena. Diselimuti rasa gelisah perihal bagaimana ia akan melanjutkan hidup setelah satu dari sekian banyak ‘bahagia’ nya telah ia lepas dengan rela. Tidak ada bubur ayam yang tergantung digerbang rumahnya saat pagi hari menyapa. Tidak ada ucapan ‘I am so proud of you’ yang ia anggap sebagai jimat setelah melewati hari yang penat. Kini ia tidak akan bisa mendapatkan itu lagi.
Waktu berjalan dengan cepat. Tak terasa sudah saatnya mereka berpisah. Esok, Gheena memiliki janji dengan seseorang di butiknya, tentu Javio tidak akan memaksanya untuk datang mengantar ke bandara. Oleh karena itu, mereka memilih malam sebelum Javio berangkat adalah waktu yang tepat untuk berpamitan.
“I’m sorry, Jav. I’m sorry for not being your forever. But you should know that I’ll always be glad for you and I’ll always support you. I trusted you like no one else, okay. I adored you, without reservation. You deserve the whole world’s kindest, Javio-ku,” bisik Gheena sembari memeluk darsa sang pria. Dalam hatinya, Gheena sudah berteriak tragis enggan melepas. Namun hal itu tak ia tunjukkan didepan Javio, takut jika perpisahan ini akan semakin memberatkan Javio.
“You’re a good person to me, Ghe. Thank you for showing me something so much love that even others wouldn’t do as you did. Thank you for making me believe that love is indeed this beautiful. Thank you for telling me that there will always be someone to listen and support me no matter what, and I also want you to believe that I will always support you no matter what. You really deserve the whole world’s kindest, Gheena-ku.”
Keduanya sama-sama tidak menduga bahwa hubungan mereka akan menemukan kata ‘akhir’ secepat itu. Bahkan, sebelum impian yang ingin realisasikan berdua harus hancur lebur begitu saja. Gheena akan mulai berfokus dengan karirnya sebagai fashion designer. Sedangkan Javio, dengan tekun berniat untuk segera dapat menyelesaikan study abroad nya dan pulang ke Tanah Air untuk menjemput cinta kasihnya.
Setelah putus, orang akan mengalami fase yang lebih menyakitkan dari kata putus itu sendiri. Seperti merelakan dan ikhlas saat segalanya nanti sudah tak sama lagi. Kemudian menerima bahwa kita sudah harus berdiri sendiri, tidak ada yang menuntunmu dari belakang, siap menangkapmu ketika jatuh, dan mengulurkan tangan untuk berjalan bersama. Terkadang kita tidak bisa meminta untuk selalu dibahagiakan. Kelak, pasti akan ada kejutan yang menyakitkan atau bisa menjadi salah satu worst experience yang pernah kita alami. Di situlah kita belajar untuk bisa memahami dan akhirnya menerima itu.
Editor: Amanda Amelia
*Penulis adalah magang LPM Ekonomika