APEL YANG MENGUNDANG LEMPARAN BATU
(Sumber Foto : bukupedia.com)
Oleh: Restin Septiana
Judul Asli Buku : 1453 The Holy War for Constantinople and the Clash of Islam and the West
Judul Terjemahan : 1453 Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim
Penulis : Roger Crowley
Penerjemah : Ridwan Muzir
Penerbit : PT Pustaka Alvabet
Cetakan : Kesatu, 2015
Jenis Buku : Sejarah
Tebal Buku : 408 halaman
ISBN : 978-602-9193-70-1
Aku menyaksikan Tuhan menciptakan matahari kekaisaran bersinar dari kediaman penduduk Turki, memindahkan rasi bintang ke kerajaan mereka, menamai mereka Turki, memberi mereka kedaulatan, menjadikan mereka raja di setiap zaman, dan menetapkan kendali masyarakat kala itu di tangan mereka. (Al-Kashgari)
Bacaekon.com-Rekomendasi. Selepas menamatkan studinya di Cambridge University, Roger Crowley hijrah ke Istanbul dan mengembangkan minatnya yang besar pada sejarah Turki. Ia bertualang selama bertahun-tahun hingga lahirlah buku ini pada 2005 dan Empires of Sea pada 2008. Buku ini mengisahkan tentang sejarah Konstantinopel. Ia menjadikan peta Mediterania Timur pada 1451, serta kondisi pengepungan pasukan Usmani di Konstantinopel pada 1453, sebagai pembuka.
Pada 629, Heraclius “Penguasa Romawi” dan Kaisar Byzantium ke-28, berziarah ke Yerusalem. Dia telah mengalahkan kerajaan Persia dalam serangkaian kemenangan dan merebut kembali benda paling suci dalam kekristenan, Salib Suci, yang berhasil dia kembalikan ke Gereja Makam Suci. Menurut sejarah Islam, ketika sampai di Yerusalem, dia menerima surat. Surat itu berisi: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang: surat ini dari Muhammad, hamba dan rasul Allah, kepada Heraclius, penguasa Byzantium. Keselamatan akan tercurahkan kepada mereka yang mengikuti tuntutan-Nya. Saya mengajak Anda berserah diri kepada Allah. Peluklah Islam, dan Allah akan memberikan ganjaran ganda. Jika Anda menolak ajakan ini, Anda akan menyesatkan rakyat.” Heraclius sama sekali tak mengenal penulis surat itu, namun dia segera menyelidikinya dan tidak menganggap enteng surat tersebut.
Antara tahun 674-678, pasukan Arab menyerang Byzantium. Kedua pihak bertempur dengan kapal dayung yang sama jenisnya dan sebagian besar dengan kru yang sama pula. Pasukan Muslim memperoleh keterampilan pertempuran laut dari orang Kristen di daerah Levant yang telah meraka taklukan. Namun armada Byzantium berhasil memukul mudur pasukan Muslim. Maka armada yang tersisapun berlayar pulang, tapi badai musim dingin menenggelamkan sebagian besar kapal yang selamat, sementara pasukan Arab diserang secara mendadak di pantai Asia. Dengan berat hati, Muawiyyah terpaksa menyepakati gencatan senjata selama 40 tahun.
Pada 717, usaha kedua yang lebih kuat dicoba lagi untuk menaklukan rintangan yang menghambat penyebaran iman masuk ke Eropa. Pasukan Arab telah memperbaiki strategi mereka dari pada pengepungan sebelumnya, kali ini mereka mengepung kota secara total. Mereka membuka dan menanami lahan di luar tembok agar bisa dipanen pada musim semi berikutnya. Namun bencana yang tak terbayangkan justru menimpa pasukan Arab, kelaparan di tengah musim dingin. Salju menutupi bumi selama beratus-ratus hari, unta dan kuda mati akibat kedinginan. Prajurit yang putus asa memutuskan untuk memakan dagingnya. Kelaparan diikuti wabah penyakit, ribuan prajurit mati di tengah cuaca dingin. Orang Arab tidak punya pengalaman dengan musim dingin yang begitu hebat di wilayah Bosporus.
Konstantinopel memang memiliki keunggulan karena tumbuh di atas perbukitan curam yang memiliki titik pandang ke laut sekitar dan dilindungi tembok sepanjang 12 mil. Konstantinopel menjadi kota pualam dan kristal, emas tempaan dan mozaik indah, mengundang decak kagum bagi siapapun yang datang berkunjung. Hingga pada penghujung abad ke-11, kaum Muslim kembali melancarkan pukulan ke Byzantium. Mereka datang tiba-tiba, hingga saat itu tak seorangpun sadar apa pentingnya serangan tersebut.
Pada 1432, Sultan Murat, pemangku takhta Usmani, sebab sang pendaku takhta, Orhan, menjadi tawanan di Konstantinopel, ia menunggu berita kelahiran anaknya. Ketika lahir, anak itu diberi nama Mehmet, nama ayah Murat, sebuah kata yang merupakan “Turkinisasi” kata “Muhammad”. Kematian seorang sultan selalu melahirkan peristiwa genting bagi negara Usmani. Usia Sultan baru, Mehmet, kala itu masih 17 tahun, sosok dengan perpaduan kepercayaan diri dan keragu-raguan, ambisi dan hati-hati. Seorang penulis Italia, Giacomo de Languschi menuliskan:
Mehmet Bey, Raja Turki, adalah seorang pemuda dengan tubuh yang kuat, berpostur lebar ketimbang tinggi, ahli menggunakan senjata, punya kepribadian yang membuat orang gentar ketimbang hormat, jarang tertawa, sangat hati-hati, dianugrahi kebaikan hati, teguh dalam mewujudkan rencana-rencananya, berani dalam seluruh tugas yang dia kerjakan, sangat ingin masyhur seperti Alexander dari Makedonia. Dia memiliki buku sejarah Romawi dan sejarah negeri lainnya yang dibacakan untuknya setiap hari. Dia bisa tiga bahasa: Turki, Yunani, dan Slavia. Dia berusaha keras mempelajari geografi Italia … di mana Paus dan kaisar bertakhta, dan banyak kerajaan di Eropa. Dia memiliki peta benua Eropa lengkap dengan negara dan provinsi-provinsinya. Minatnya pada geografi dunia dan urusan militer melebihi minatnya pada bidang lain; dia terbakar hasrat mendominasi; dia sosok yang pandai memanfaatkan segala kondisi. Orang seperti itulah yang akan kita hadapi, orang Kristen, hadapi. Hari ini dia berkata zaman telah berubah dan dia menyatakan dia akan bergerak dari Timur ke Barat seperti halnya di masa lalu orang Barat bergerak ke Timur. Di dunia ini, katanya, hanya boleh ada satu kerajaan, satu keimanan, dan satu kedaulatan.
Kisah Mehmet dengan 80.000 pasukannya masih akan berlanjut menyerang Konstantinopel pada 1453. Hingga akhirnya Konstantinopel jatuh di bawah Sultan 21 tahun itu. Lewat pertempuran dramatis selama 55 hari. Strategi dan kegigihannya tentu menarik untuk disimak. Terlebih gaya penuturan buku ini mengalir dengan gaya penceritaan novel yang tentunya membawa pembaca larut dalam peristiwa besar.
Namun tidak perlu khawatir, buku ini dilampiri dengan segudang sumber rujukan atau referensi dan bibliografi, yang akan menampik keragu-raguan di dalamnya. Juga menampilkan perdebatan pendapat tentang sejarah Konstantinopel, Byzantium, maupun Usmani, di antara para sejarawan yang penulis tulis dalam buku ini. Meski terkadang sulit membedakan antara pendapat peribadi penulis dengan pendapat sejarawan yang dia cantumkan.