Anxiety Di Lingkup Mahasiswa Universitas Islam Indonesia
Ilustrasi: Asa Ramadhani*
Narasi: Darin Calancita dan Dina Syarafina Fahsa*
Bacaekon – Dalam kehidupan sehari-hari, mendengar kata kecemasan atau Anxiety mungkin tidak asing lagi. Di balik perasaan cemas yang dialami seseorang terdapat masalah besar yang kerap kali menjadi penyebab utama kecemasan itu muncul. Secara umum, kecemasan adalah respon alami tubuh terhadap stres atau ketidakpastian. Tetapi, ketika kecemasan menjadi berlebihan dan mengganggu kehidupan sehari-hari, itu bisa menjadi gangguan kecemasan yang serius dan membutuhkan perhatian lebih.
Transisi dari remaja menuju ke dewasa, yaitu antara usia 16-24 tahun merupakan masa dimana seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan pengalaman baru. The Conversation juga mendukung temuan World Health Organization (WHO) yang mengatakan 1 dari 4 remaja di usia ini menderita gangguan kesehatan jiwa.
Dunia semakin kompleks dan cepat berubah, mulai dari tekanan pekerjaan, tuntutan sosial, masalah keuangan, dan tantangan pribadi dapat menjadi pemicu bagi kecemasan yang berlebihan. Pemicu munculnya perasaan cemas juga karna perkembangan otak yang terus berlangsung untuk pembentukan identitas diri, kehidupan yang mulai berubah, serta mengalami peningkatan rasa kesepian saat belajar dan merantau di kota yang jauh dari tempat tinggal. Selain itu, pandemi COVID-19 yang melanda dunia telah menimbulkan tingkat kecemasan yang lebih tinggi bagi banyak orang.
Tim Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kesehatan di Universitas Indonesia, mencoba untuk memetakan keresahan mental remaja di periode transisi 16-24 tahun dari seluruh Indonesia, terutama mahasiswa tahun pertama melalui survei online. Sebanyak 95,4% menyatakan bahwa mereka pernah mengalami gejala kecemasan (Anxiety), dan 88% pernah mengalami gejala depresi dalam menghadapi permasalahan selama di usia ini.
Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia, Poppy Sofia Anisa, S.Psi.,M.Psi. turut menanggapi hal ini. Anxiety adalah kecemasan pada umumnya, tapi jika dikaitkan dengan penyakit kecemasan maka disebut Anxiety disorder. Penyakit ini memerlukan diagnose pihak ahli, seseorang bisa dianggap mengidap Anxiety disorder jika sudah memenuhi minimal 6 ciri, yaitu perasaan cemas yang berlebih, sering merasa gelisah, sulit tidur berhari-hari, kesulitan berkonsentrasi, mudah keringat dingin, mengalami serangan panik tanpa penyebab yang jelas.
Para penderita kemudian akan merasakan ciri-ciri tersebut dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan, hingga kerap kali mencapai pada tingkat mengganggu aktivitas. Penyebab yang mengawali gangguan kecemasan ini adalah pola pikir kognitifnya yang negatif berlanjut pada perasaan, dan akhirnya lari pada perilaku orang tersebut. Selain itu, Anxiety ini juga bisa dari trauma seseorang di masa lalu. “Gangguan umum yang dapat dideteksi itu adalah asam lambung yang tinggi, fisik yang lemas, susah fokus terhadap kegiatan yang dilakukan, tangan mudah keringetan, menjadi susah berpikir atau berpikir sangat lama untuk sesuatu hal yang sepele,” tutur Poppy.
Menurut Poppy, dampak yang timbul dari Anxiety seperti susah tidur, susah fokus, gelisah, tegang, nafas tidak teratur, selalu berfikir negatif, dan selalu berpikir akan ada bahaya yang menimpanya dapat menimbulkan perubahan pada perilaku penderita. Perubahan tersebut kemudian menimbulkan dampak pada sekitar, karena para penderita kerap kali menarik diri dari kehidupan bersosialisasinya dan menjauh dari lingkungan.
Ara, mahasiswa Universitas Islam Indonesia yang pernah mengalami Anxiety juga turut menanggapi. Ara mengungkapkan bahwa penyebab Anxiety yang dialaminya berasal dari keluarga, pertemanan, percintaan, dan pendidikan. Saat pertama kali merasakan itu, Ara lebih memilih diam dan menangis, karena merasa tidak kuat untuk bercerita dan takut di judge duluan jika bercerita pada teman. Seiring berjalannya waktu, Ara mulai merasa mentalnya tidak kuat untuk menahan, dan sempat ingin bunuh diri dengan melukai diri sendiri karena merasa putus asa. Akhirnya. Ara memutuskan untuk bercerita ke teman bahkan memilih ke psikolog.
Tim Divisi Psikiatri Anak dan Remaja FKUI, kemudian menemukan bahwa penyelesaian masalah yang paling sering mereka lakukan adalah bercerita pada teman (98,7%), menghindari masalah tersebut (94,1%), mencari informasi tentang cara mengatasi masalah dari internet (89,8%). Namun, sebagian juga berakhir dengan menyakiti diri mereka sendiri (51,4%), atau bahkan menjadi putus asa serta ingin mengakhiri hidup (57,8%). Berbagai masalah yang dalam masa transisi ini berisiko tinggi menjadi lebih buruk di kemudian hari apabila tidak ditangani dengan optimal.
“Kasus ini merupakan kasus yang paling banyak ditangani baik didalam maupun diluar kampus. Penanganannya pun tidak bisa langsung hilang karena butuh pemulihan yang lumayan lama,” tutur Poppy.
Poppy menambahkan, pesan untuk orang-orang yang merasakan ciri-ciri Anxiety, cobalah untuk memberanikan diri bercerita ke orang yang dipercaya, jangan takut untuk konsultasi ke psikolog, juga jangan asal mendiagnosis sendiri karena, Anxiety ini tidak bisa kita diagnosis sendiri yang hanya berdasarkan perasaan pribadi.
Reporter: Darin dan Dina
Editor: Nur’Alif Nafilah
*Penulis adalah magang LPM Ekonomika