Anak Kedua
Ilustrasi: Hanan Afif Wirawan
Narasi: Alifia Kusumaningtyas
Bacaekon – Libur telah usai, rumah kontrakan yang kami huni nampak ramai kembali, orang-orang harus menghadapi kembali kenyataan untuk beraktivitas. Seperti biasa kakakku, pagi sekali sudah rapi untuk menjalankan aktivitasnya sebagai pekerja kantoran di kantor pemerintahan. Sementara adikku, wajah sayu bangun tidurnya selalu menghiasinya tiap pagi.
Aku tak berbicara banyak dengan mereka pagi ini, dan memang setiap harinya selalu sama seperti ini. Entahlah, aku merasa nyaman saja untuk tidak membicarakan atau membagikan isi pikiranku pada mereka. Mungkin karena hal ini telah terbentuk sejak aku kecil.
Berbicara tentang masa kecil, tak banyak kenangan yang bisa aku ingat pada masa itu, atau mungkin aku memilih untuk tak ingin mengingatnya. Jujur saja, dulu aku menganggap hal itu sebuah masalah, namun seiring berjalannya waktu aku pun hanya menganggap itu angin lalu, karena saking terbiasanya.
“Dek, kamu nanti pulang jam berapa?” Tanya kakakku.
“Jam 4 sore kak, ada kelas tambahan dari dosen.” Jawabku.
“Nanti malam kita makan di luar yuk, kita berdua saja, sudah lama kita tidak saling bicara, banyak hal yang ingin kusampaikan.” Ajaknya padaku.
“Boleh saja, aku pun sudah lama tidak berbincang denganmu,” ujarku.
Akhirnya, pembicaraan di dalam mobil pun langsung selesai begitu saja. Seperti inilah percakapan kami sehari-hari, tidak menanyakan kabar atau hal-hal yang berhubungan denganku, hanya berbicara ketika ada sesuatu yang penting saja. Tetapi, bukankah artinya makan malam ini penting baginya?
Sang fajar telah kembali ke peraduannya, inilah saatnya bagiku dan kakakku untuk makan malam bersama, hanya berdua saja tanpa orang tua dan adikku. Rasanya agak aneh, karena sudah lama kami tidak menghabiskan waktu bersama. Tetapi aku akan menikmati dengan maksimal momen ini karena kesempatan makan bersama dengan kakak berdua saja belum tentu akan terjadi di masa depan.
Ternyata ia mengajakku ke rumah makan yang sering kami datangi waktu kecil. Sepertinya, ia ingin mengajakku bernostalgia. Sebelum adikku lahir, inilah tempat makan wajib yang harus kami kunjungi, dan yang lebih istimewanya lagi kami makan disini karena permintaanku.
Cita rasa makanan disini masih sama seperti dulu kala, mereka tetap menjaga kualitas makanan mereka bahkan lebih baik dari sebelumnya, hal inilah yang semakin membuatku bahagia saja.
“Bagaimana, makan malam kali ini, lebih berkesan bukan?” Tanya kakakku sembari tersenyum.
“Iya, makasih telah mengajakku kemari, rasanya seperti ditarik kembali ke masa 11 tahun yang lalu.” Jawabku tersenyum simpul.
“Waktu itu, kita berdua masih sering sekali tertawa bersama, bermain bersama, berkumpul bersama, tidak terasa ternyata banyak waktu yang sudah kita lewatkan.”
“Betul, sebelum adik lahir kita sering sekali melakukan hal itu berulang-ulang, tapi setelah ada dia, perlahan semuanya berubah. Tidak, aku tidak mengatakan ini semua hilang karena adik, tetapi rasanya aku belum rela kehilangan itu semua pada waktu itu, namun kini aku sudah menerimanya, memang karena keadaan juga, jadi tak bisa dipaksakan.” Ucapku.
Di tengah momen makan malam, pikiranku kemudian memikirkan masa- masa tersebut, masa sebelum hadirnya malaikat kecil yaitu adikku. Waktu itu, hanya ada aku, kakakku, ibuku, dan ayahku. Sebagai anak bungsu, perhatian mereka tertuju padaku semua. Aku tidak dimanja oleh mereka, tetapi memang sebagai anggota keluarga terkecil, mereka memberikanku afeksi yang penuh agar aku dapat merasakan kehangatan dari sebuah keluarga. Dapat dikatakan, aku termasuk salah satu manusia beruntung yang bisa merasakan afeksi yang diberikan oleh seluruh anggota keluarga, aku bersyukur karena tidak semua orang bisa mendapatkan hal yang sama denganku.
Hari yang kami tunggu telah datang, hari dimana aku akhirnya bisa melihat sosok baru yang akan menjadi anggota keluargaku, adik kecilku. Aku dan kakakku selalu menantikan kabar terbaru dari ayah apakah kami sudah bisa melihat adik kecil kami. Jujur saja, ketika akhirnya aku dapat melihat adikku untuk pertama kali, perasaanku membuncah, aku tak bisa berhenti mengaguminya, di pikiran kecilku, aku tidak sabar ingin memberikannya afeksi seperti yang ayah, ibu, dan kakakku berikan padaku sebelumnya. Hari ini aku telah resmi menjadi anak kedua, dan aku tidak sabar untuk menikmati peranku sebagai seorang kakak untuk pertama kalinya.
Kami sangat menikmati rutinitas ini, terutama diriku yang sangat menikmati peran sebagai seorang adik bagi kakak,dan anak terakhir di dalam keluarga. Hingga tak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat hingga datang saatnya dimana aku telah menjadi anak kedua di dalam keluarga.
Kata orang anak pertama itu harus sempurna dan menjadi teladan yang baik. Itu benar, karena dia dianggap sebagai calon penerus keluarga. Tetapi, menurutku anak kedua juga harus menjadi sempurna karena mempunyai tuntutan dua sisi. Ia harus bisa sempurna seperti kakaknya, di sisi yang lain ia harus bisa menjadi contoh yang baik untuk adiknya.
Semasa kecil, aku merasa harus bisa seperti kakakku yang bisa segalanya, kiasan yang terlalu berlebihan memang, namun ia memang bisa melakukan banyak hal. Lalu setelah adikku lahir, aku merasa harus bisa menjadi contoh yang sempurna bagi adikku.
Jentikan jari kakakku tiba-tiba memecah lamunanku tentang harapan kedepannya.
“Maaf ya buat semuanya, maaf karena telah berubah, seharusnya aku tetap sama tidak meninggalkanmu tenggelam dengan kesibukan dan urusanku sendiri, seharusnya aku juga memperhatikanmu, karena kau juga adikku, maaf karena kami terkadang melupakanmu untuk melihat bahwa kau juga seoran anak yang masih butuh dengan afeksi, maaf selama ini kami melihatmu hanya sebagai sosok kakak untuk adik kecilnya, aku minta maaf ya dik.” Ujar kakak.
Mendengar ucapan maafnya, aku cukup tercengang, karena setelah hadirnya adik di dalam kandungan ibu, memang aku lebih berperan sebagai sosok anak kedua yang tidak begitu diperhatikan. Batinku mengatakan tidak apa apa, karena tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut namun terkadang aku juga butuh afeksi sebagai seorang adik yang juga ingin didengarkan layaknya dahulu kala.
“Terima Kasih, telah menjadi sosok panutan bagiku dan adik, karena dirimu aku bisa memberikan contoh yang baik juga padanya. Aku senang dapat mengatakan aku tidak gagal menjadi seorang adik bagimu dan kakak bagi adik kita.” Balasku sambil tersenyum padanya.
Editor: Naufal Rahendra